Mendayung Diantara Dua Karang : Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme



Berbicara mengenai nasionalisme, menurut saya, gampang-gampang susah. Apalagi jika tema nasionalisme, yang ideologis itu, dikaitkan dengan pragmatisme, yang adalah salah satu aliran dalam filsafat. Tema nasionalisme tidaklah semata-mata berkaitan dengan soal kebanggaan, identitas, persatuan, atau kesetiaan akan suatu "nation" (bangsa). Nasionalisme juga bukan semata-mata garis imajinatif yang menjadi batas antara satu kelompok manusia dan kelompok lainnya, tapi ia juga merupakan cara pandang (world view) mengenai kebenaran sejarah, politik, dan budaya yang masuk dalam sikap serta tindakan setiap individu (Sulfikar Amir, 2005).

Disamping itu, sebagai ideologi, nasionalisme, sebagaimana ideologi lain seperti kapitalisme atau sosialisme, senantiasa masih berkembang. Adalah ideologi nasionalisme ini juga, yang pada akhir abad 20 lalu, telah menyebabkan dua perang dunia yang mengakibatkan hilangnya jutaan nyawa manusia serta kerugian sosial dan ekonomi yang luar biasa besarnya.

Sama dengan nasionalisme, pragmatisme, sebagai salah satu aliran filsafat yang banyak peminatnya, juga masih sedang berkembang. Menurut Wikipedia, aliran filsafat yang mengukur kebenaran suatu ide dari kegunaan praktis-yang-dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, telah menghasilkan pengikut yang digolongkan sebagai penganut pragmatis klasik, neoklasik, neopragmatis, dan legal pragmatis.

Nasionalisme

Sebagai sebuah konsep sosial, nasionalisme bukan benda yang turun begitu saja dari langit. Ia lahir dari kebudayaan Eropa era Pencerahan ketika rezim-rezim patrimonialisme runtuh dan digantikan sistem kekuasaan publik yang egaliterian. Dalam perkembangannya, gagasan nasionalisme mengalir ke masyarakat kolonial dan menjadi pemicu gerakan antikolonialisme bangsa Eropa. Indonesia tidak lepas dari aliran sejarah itu (Sulfikar Amir, 2005).

Gagasan nasionalisme Indonesia sendiri, menurut hasil penulusuran Sulfikar Amir (2004), berasal dari dua sumber. Pertama, gerakan kaum Islam modernis yang diilhami gerakan Pan-Islamisme yang meluas di Timur Tengah pada abad ke-18. Sumber kedua adalah kaum elite terdidik yang terbentuk melalui Kebijakan Etis pemerintah Belanda. Walaupun dididik untuk kepentingan ekonomi dan birokrasi pemerintah Hindia Belanda, belakangan para elite terdidik tersebut menjadi pelopor gagasan suatu bangsa berdaulat yang bernama Indonesia.

Sejak Budi Utomo berdiri tahun 1908, dan kemudian semakin mengental dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, telah tertempa perasaan sebagai satu bangsa (nation) dan merasuk ke dalam pikiran berbagai kelompok etnis yang menghuni Nusantara. Rakyat penghuni Nusantara yang bekas Hindia Belanda menanamkan kesadaran dalam pikiran mereka bahwa mereka adalah satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu tanah air, tanah air Indonesia, seperti yang mereka ucapkan dalam sumpah mereka pada tahun 1928 itu.

Rakyat Indonesia, seperti juga Amerika Serikat, adalah masyarakat yang amat pluralistik, baik dari segi etnisitas, bahasa ibu, maupun adat budayanya. Akan tetapi, berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang sebagian besar (kecuali native American atau Indian) adalah pendatang yang dengan kemauan sendiri mendatangi benua tersebut, suku-suku bangsa di Indonesia adalah penduduk pribumi yang sudah beribu tahun menghuni wilayah tertentu dalam negara yang kemudian menjadi Republik Indonesia (Kartono Muhammad, 2003).

Perasaan menjadi pemilik sah dari suatu wilayah lebih kental di antara kelompok etnis Indonesia dibandingkan dengan dengan rakyat Amerika Serikat. Maka, sungguh merupakan keberhasilan yang sangat besar dari para pendiri negara ini untuk dapat membuat mereka kini merasa bahwa
tanah air mereka adalah Indonesia, bukan hanya Jawa, Bali, Sulawesi, Irian, dan sebagainya. Pembentukan rasa nasionalisme Indonesia tertentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan Norwegia yang negaranya berupa satu daratan tanpa terpisah-pisahkan oleh lautan (Kartono
Muhammad, 2003).

Melalui pengamatan dan penelitian pada masyarakat paskakolonial di Asia dan Afrika, lebih khusus lagi Indonesia, Benedict Anderson lantas mengajukan konsep nasionalisme sebagai "imagined communities". Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa (Sulfikar Amir, 2004).

Jadi, suatu bangsa pada dasarnya ialah suatu komunitas sosial politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas, sekaligus berkedaulatan. Pada komunitas itu masing-masing anggotanya belum tentu saling mengenal satu sama lain, tetapi di benak setiap anggotanya hidup bayangan tentang kebersamaan dan persaudaraan. Melalui konsep "imagined communities" dapat kita identifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah, nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme digunakan sebagai amunisi bersama dalam menentang hegemoni kolonialisme (Bawono Kumoro, 2006).

Pragmatisme

Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani "pragma" yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Jadi, pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil (Muhammad Shiddiq al-Jawi, 2004).

Pragmatisme, setelah lahir di tanah Amerika, tersebar luas bersamaan dengan menyebarnya ideologi kapitalisme ke seluruh pelosok dunia. Munculnya pragmatisme, menurut almarhum Kuntowijoyo (2004), dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika.

Menurut Kontowijoyo, dalam epistemologi pragmatisme, individualisme dan materialisme ekonomi tumbuh subur. Unsur kesadaran tak terdapat di dalamnya. Sekalipun William James, salah satu tokoh pertama dan utama dari pragmatisme, menulis "Varieties of Religious Experiences", tidak berarti bahwa dia mendukung kesadaran beragama. Selama pengalaman keagamaan itu berguna bagi yang bersangkutan, maka ia benar. Dengan demikian, pragmatisme adalah relativisme. Tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah "kebenaran" itu berguna atau tidak (Kuntowijoyo, 2004).

Dalam dunia politik di Indonesia, masih mengutip Kuntowijoyo (2004), Orde Baru dikatakan menganut pragmatisme. Rezim itu tidak peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan sebuah „power politics". Pragmatisme dalam bisnis juga melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Mereka mengisap Indonesia dan membawa hartanya keluar. Nucuk angiberake (mencari makan di sini, membawa keluar). Orde Baru membelanya dengan menyebut mereka justru penganut "nasionalisme baru".

Pemuda antara Nasionalisme dan Pragmatisme
Melalui sedikit uraian teoritis di atas, saya ingin melangkah menuju tema dari diskusi ini, yakni Semangat Pemuda Menjawab Permasalahan Bangsa, terlebih dalam kaitannya dengan nasionalisme dan pragmatisme. Apakah nasionalisme itu selalu berhadapan dengan pragmatisme ? Dikaitkan dengan kedudukan kita sebagai pemuda yang sedang menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, di Jerman khususnya, dan pilihan-pilihan yang tersedia setelah usainya masa studi, apakah misalnya, seorang yang setelah selesai studinya dan kemudian memutuskan untuk tidak segera kembali ke tanah air adalah pragmatis, dan dengan itu, otomatis, tidak nasonalis?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya ingin meninjau lagi ke uraian mengenai nasionalisme dan pragmatisme. Sependek yang bisa saya temukan dan saya baca, ternyata sikap nasionalis tidak selalu tidak bisa bersatu dengan pragmatis. Rezim orde baru adalah contoh sempurna atas berjalin dan berkelindannya antara nasionalisme dan pragmatisme itu. Selain menganut paham pragmatisme, sebagaimana kutipan dari Kuntowijoyo diatas, rezim orde baru juga telah memonopoli tafsir atas apa yang (boleh) dinamakan nasionalisme. Nasionalisme, yang
sebelumnya bersifat publik dan dimiliki oleh setiap (anggota) masyarakat atau suku bangsa, telah dibajak dan ditundukkan dibawah kaki penguasa. Akibatnya, tercipta sebuah relasi hegemonik antara negara dan masyarakat. Sejak itu, wacana nasionalisme menjadi wilayah eksklusif institusi negara (Sulfikar Amir, 2005).

Pada dasarnya, sambil masih mengutip Sulfikar Amir (2005), nasionalisme dapat dibangun oleh tiga elemen dasar. Pertama, kedaulatan (sovereignty) yang menjadi motivasi sebuah bangsa untuk tidak dijajah dan dipengaruhi bangsa lain. Kedua, persatuan (integrity) yang menjadikan sebuah bangsa tetap utuh sebagai sebuah entiti politik yang memiliki cara pandang yang sama. Dan, ketiga, identitas (identity) yang terbentuk dalam simbol-simbol yang menjadikan sebuah bangsa unik daripada yang lain.

Dominasi negara dalam ketiga elemen nasionalisme menghasilkan seperangkat distorsi yang hanya memperkuat hegemoni negara terhadap masyarakat. Elemen kedaulatan yang semestinya menjadi pendorong institusi negara untuk melindungi warga negara dari ancaman luar dimanipulasi untuk membenarkan tindakan-tindakan negara terhadap masyarakat. Pada saat yang sama, retorika persatuan dijadikan alasan untuk mengambil hak-hak regional dan mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan pusat kekuasaan di Jakarta. Yang tidak kurang parah, identitas kebangsaan diinterpretasikan secara sempit. Sehingga, yang muncul adalah penyeragaman yang melanggar prinsip-prinsip multikultural. (Sulfikar Amir, 2005).

Lantas, apakah yang bisa kita lakukan sebagai bagian (kecil) dari, kalau boleh dikatakan, masyarakat terdidik Indonesia? Saya akan kembali mengutip dari Sulfikar Amir (2005). Agar nasionalisme terhindar dari kooptasi dan hegemoni makna oleh negara, maka kita perlu melakukan dekonstruksi atas tiga elemen nasionalisme. Pertama, kedaulatan tidak lagi dimaknai semata-mata sebagai upaya perlindungan dari ancaman luar, tapi juga merupakan jaminan kedaulatan masyarakat dari tindakan-tindakan represif negara. Kedua, persatuan tidak lahir dari interpretasi negara tentang keutuhan bangsa, tapi merupakan sebuah kondisi yang muncul dari keinginan warga negara untuk menjadi bagian bangsa Indonesia. Dan ketiga, identitas yang ada bukanlah penyeragaman, tapi terbentuk melalui keberagaman yang muncul secara ekspresif dari masyarakat.

Nah, setelah melalui uraian dalam paragraf-paragraf di atas, saya kembali ke pertanyaan tentang sikap yang mungkin diambil oleh seseorang yang memilih tidak kembali ke tanah air setelah selesainya masa studi di luar negeri. Bagi saya, belajar dari kisah sejumlah negara semisal India dan China, yang ternyata saat ini banyak diuntungkan atas tersebarnya tenaga terdidik mereka di berbagai penjuru dunia, maka amat sangat terburu-buru jika dikatakan bahwa orang yang memilih untuk lebih dulu berkarir di luar negeri itu dikatakan sebagai tidak nasionalis.

Menurut saya, ada berbagai alasan yang bisa dikemukakan untuk mendukung langkah itu, diantaranya adalah kondisi lapangan kerja di tanah air dan peluang bekerja "secara baik dan benar" yang belum tentu tersedia. Sangat boleh jadi, setelah mereka mempertimbangkan berbagai hal, pilihan untuk tidak kembali ke tanah air bukanlah pilihan pertama dan utama. Mungkin saja mereka sesungguhnya ingin segera kembali, namun, setelah menganalisis, mereka sampai pada kesimpulan, bahwa mereka tidak mungkin tetap bisa bertahan dengan idealismenya jika mereka bekerja di tanah air. Daripada mereka ikut-ikutan terperosok dan ikut berbuat yang tidak-tidak, akhirnya mereka memilih sikap untuk "wait and see" sambil berkarir di negeri seberang.

Saya, dengan demikian, tidak akan mengatakan mereka sebagai kaum pragmatis, ataupun tidak punya rasa nasionalisme. Kalau pun ada yang ingin saya usulkan pada orang-orang yang memilih sikap seperti itu, hendaklah mereka mempunyai batas waktu, sampai kapan mereka akan tetap
berkarya di negeri orang. Dari berbagai interaksi saya dengan orang yang memilih bekerja di luar negeri, seingat saya, mereka semua tetap masih memendam keinginan untuk, pada suatu saat, pulang dan berkarya di tanah air. Meminjam sebuah peribahasa, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, walau bagaimanapun kelebihan di negara orang, tetap negeri sendiri lebih baik lagi. Syukur-syukur, mereka yang memilih berkarir di luar negeri ini, misalnya bekerja di suatu industri, dapat menjadikan tempat kerjanya sebagai sarana praktikum mahasiswa dari suatu Universitas di Indonesia. Atau, jika mereka berkarir di suatu lembaga penelitian, maka mereka dapat mengusahakan agar ada suatu posisi bagi peneliti asal Indonesia, atau institusi penelitiannya bisa menjalin kerjasama dengan institusi sejenis di Indonesia. Hal yang terakhir ini, seingat saya, banyak dilakukan oleh para ilmuwan India dan China.

Tentu saja, apa yang saya tuliskan diatas dengan segera bisa diperdebatkan. Namun, bagi saya, saya tidak ingin menjadi hakim bagi pilihan hidup dan masa depan seseorang. Daya tahan dan semangat dalam memperjuangkan apa yang disebut sebagai idealisme, apapun definisi orang akan hal itu, tidaklah sama dan sebangun pada semua orang. Kita, dalam mengambil keputusan akan suatu hal, masing-masing mempunyai kondisi dan pertimbangan internal dan eksternal yang tidak sama. Dus, bagi saya, untuk hal-hal yang seperti itu, saya tidak akan menggunakan
ukuran yang saya punya untuk menilai sikap dan tindakan orang lain.

Akhirnya, saya ingin menutup uraian saya ini dengan mengutip artikel yang ditulis Kurniawan (1996), yang ketika ia menulis artikel itu, masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Ia menulis, "nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit yang membela bangsa apapun alasannya."Right or wrong is my country" adalah sentimen berlebihan atas bangsa yang dapat berbuah rasialisme dan memperkosa kemanusiaan dan kebenaran. Nasionalisme kita tidak sekedar mengabdi pada sebentuk negara politis semata-mata, tapi lebih pada bangsanya,
nasib warga di dalamnya. Dengan demikian kemanusiaan adalah panutannya, dan ke-Tuhanan adalah dasarnya. Nasionalisme tidak mati, dia hidup di hati rakyat Indonesia, termasuk pemudanya. Ada baiknya kita simak pernyataan "Sumpah mahasiswa" di era 1980-an ini yang mengaku:

Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan - Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan.
Berbahasa satu, bahasa kebenaran."