Mencari Arah Republik

Mencari Arah Republik
Muhammad Syamsul Ketua GARUDA KPPRI

Tanggal 15 Agustus lalu, saat menyampaikan tilikan politik atas hasil jajak pendapat Mencari Arah Republik 2009, saya melihat realitas, ketika muncul kesulitan BBM, pemerintah tiba-tiba mencanangkan penghematan, mengurangi penerangan di kantor, menaikkan suhu AC, dan sebagainya.

Entah reaksi apa yang akan dilakukan pemerintah saat harga minyak dunia mencapai 70 dollar AS per barel. Yang aneh dari tindakan pemerintah adalah kebiasaan memublikasikan subsidi BBM yang akan mencapai Rp 100 triliun lebih tanpa menginformasikan penerimaan negara dari ekspor minyak. Patut dipertanyakan berapa dan ke mana mengalirnya hasil ekspor minyak. Apakah angka subsidi BBM sudah dikurangi penghasilan dari ekspor minyak?

Realitas lain, saat muncul wabah busung lapar dan polio, menteri kesehatan mengunjungi daerah wabah lalu memerintahkan jajarannya untuk memberi gizi tambahan dan vaksinasi. Cermin pemerintahan seperti apa ini? Bukankah BBM dapat diatur agar tidak muncul kesulitan? Bukankah kesehatan balita dapat dijaga sehingga tidak terjadi busung lapar?

Harga yang harus dibayar

Pemerintah seharusnya tidak hanya reaktif atas masalah yang muncul, tetapi harus memiliki arah yang jelas. Ada titik yang hendak dituju oleh arah itu. Alam pun memiliki tujuan, yaitu kebebasan. Revolusi dan reformasi di seluruh belahan bumi adalah alam yang sedang bekerja mewujudkan kebebasan. Korban jiwa dalam revolusi dan reformasi adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan.

Tetapi, apakah bayi yang mati karena busung lapar merupakan harga yang harus dibayar oleh alam untuk mencapai tujuannya? Ini bukan merupakan harga yang harus dibayar alam. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk pemerintahan yang tanpa arah.

Pentingnya arah

Dari hasil jajak pendapat 28 Juli-4 Agustus terungkap, lebih dari 70 persen responden menilai pemerintahan belum punya arah. Angka itu dapat ditafsirkan sebagai sebuah kondisi yang memprihatinkan. Negara ini berjalan tanpa tujuan pasti. Mengapa pemerintah harus mempunyai arah, tidak hanya reaktif terhadap masalah? Arah diperlukan terutama karena negara ini telah terjerumus dalam sedikitnya tiga jeratan. Pemerintah harus mengarahkan negara untuk keluar dari berbagai jeratan itu.

Pertama, jeratan utang. Utang Republik amat besar, lebih dari Rp 1.000 triliun. Meski penerimaan dalam negeri terus meningkat, kesejahteraan rakyat tidak pernah menjadi kenyataan. Sedikitnya 30 persen dari hasil penerimaan mengalir keluar untuk bayar utang. Kedua, jeratan berbagai masalah yang terus mendera, seperti krisis energi yang bisa berujung krisis kepercayaan, busung lapar, polio, dan korupsi.

Ketiga, jeratan neoliberalisme. Pemerintah telah sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip pasar dalam menjalankan negara. Apakah negara sama dan sepenuhnya cocok dengan pasar ?...Pasar memang memberikan hal baik bagi manusia, yaitu kompetisi. Dengan meminjam pemikiran Immanuel Kant, kompetisi membuat manusia bisa membuang bahaya laten yang tersimpan dalam diri manusia, yaitu kemalasan. Namun, pasar yang kompetitif menyimpan hal buruk bagi manusia, yaitu selalu melahirkan pihak yang kalah.

Pasar bisa mengenyahkan pihak yang kalah itu. Pasar bisa mengusir gelandangan. Pasar bisa dengan seenaknya menggusur pedagang kaki lima. Tetapi, apakah negara bisa mengusir gelandangan untuk keluar dari wilayah negara ini? Apakah negara bisa menggusur pedagang kaki lima tanpa memberi solusi?

Konstitusi mengatakan ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara”. Berdasarkan konstitusi ini, dapat diartikan negara berbeda dengan pasar. Pasar tidak peduli dengan keseluruhan, sedangkan negara harus berguna bagi seluruh rakyat.

Pemerintah harus mengarahkan negara untuk keluar dari berbagai jeratan dan bergerak menuju era kebebasan.


Eliminasi kepentingan diri

Salah satu alasan responden adalah pemimpin tidak satu arah. Ini dapat dibaca sebagai masalah amat serius karena berkait dengan keutuhan visi anggota kabinet. Jika pada awal pemerintahan Yudhoyono-Kalla menghadapi tantangan dari kaum ”oposisi”, yaitu koalisi kebangsaan, kini mereka menghadapi masalah lebih serius, yakni penyakit dalam tubuh sendiri. Tidak satu arahnya pemerintahan dapat dibaca sebagai terlalu dominannya kepentingan diri, egoisme, sehingga menutup rapat perjuangan mencapai kepentingan bersama, yaitu kepentingan rakyat. Akhirnya, masing-masing elite mengejar kepentingan diri.

Seorang pemimpin bangsa seharusnya telah mampu mengeliminasi egoisme, tidak mementingkan diri sendiri, dan mampu mengarahkan dirinya untuk selalu memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan begitu, arah yang dituju akan menjadi jelas dan satu. Dengan demikian, pencarian arah akan berhasil. Biduk republik dapat berjalan dengan arah yang pasti menuju kebebasan dan kecemerlangan.

KILAS BALIK SINGKAT SANG PUTRA TERBAIK TIDORE


Mereka yang Berani Menantang Risiko

Salam Indonesia !

Teman-teman terkasih, sungguh kami merasakan kehilangan yang amat sangat mendengar berita kepergian Munir, seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia yang akan selalu kita kenal sebagai satu dari sedikit orang-orang cerdas dan berani di Indonesia saat ini. Kepergiannya terasa sebagai shock yang sulit kami terima. Betapa ia dalam usia yang begitu muda kini tidak lagi berada di tengah-tengah kita. Harapan besar yang telah terlanjur kami tanamkan pada pundak orang-orang muda seperti Munir, kini seperti terhempas.
Di saat bangsa ini masih berada dalam suasana yang carut-marut, ketika para pemimpin negara ini belum dapat kita harapkan untuk membangkitkan Indonesia yang sedang terpuruk, ketika itu pula kita kehilangan tokoh independen yang keberaniannya dapat memberikan inspirasi bagi berjuta rakyat kita untuk berdiri dan memerdekakan jiwanya. Karena adanya orang-orang seperti Munir, kami merasa bahwa jiwa bangsa Indonesia masih akan merdeka... Teman-teman semua, keberadaan orang-orang baik itu bagaikan udara. Sering kita tak memperhatikan dan melihatnya kita ia ada bersama-sama kita, namun kita akan merasa kehilangan teramat besar di saat ia tiba-tiba hilang dari antara kita.
Satu per satu, orang-orang muda penuh harapan telah pergi meninggalkan kita. Sebelum Munir, kita telah kehilangan Arnold Purba (Aktivis anti-diskrimansi dari Solidaritas Nusa Bangsa) serta Nuku Soleman Putra terbaik Nusantara yang berasal dari Kota Tidore Maluku Utara (Aktivis PIJAR Indonesia, yang pernah mendekam dalam penjara semasa pemerintahan Orde Baru) yang kesemuanya meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya -- akibat tekanan berat yang dialami karena pekerjaannya.

Orde Baru yang di awal kekuasaannya memunculkan harapan secara perlahan bermetamorfosa menjadi Leviathan, Sang Naga laut, yang menakutkan. Kekuasaannya semakin mencengkeram berbagai aspek kehidupan bernegara, termasuk kehidupan kampus. Gerakan mahasiswa yang di awal terbentuknya Orde Baru merupakan sekutu dalam proses transisi kekuasaan berangsur-angsur “dijinakkan” dan pada akhirnya dibungkam.

Buku yang berjudul “Mereka yang Berani Menentang Risiko: Motif Keterlibatan Mahasiswa ke Dalam PIJAR Indonesia” ini mengungkapkan secara gamblang anatomi gerakan PIJAR Indonesia dengan terlebih dulu diuraikan sejarah gerakan mahasiswa yang di antaranya bermuara pada pendirian organisasi anti-Soeharto. Seta Basri, penulis buku, berusaha memperlihatkan peran yang besar dari PIJAR dalam panggung politik republik era Orde Baru.

Metamorfosa Gerakan Mahasiswa

Puncak pembungkaman gerakan mahasiswa adalah dengan diterbitkanya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang diawali dengan pembekuan Dewan-Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo. NKK, seperti ditulis Seta, secara parsial dapat dikatakan sebagai reaksi pemerintah atas gerakan mahasiswa 1978 yang mulai mempersoalkan eksistensi Soeharto. Dengan terbitnya NKK yang lalu diikuti dengan pembentukan Badan Koordinasi Kampus (BKK), menurut Seta, posisi diametral mahasiswa terhadap personalitas Presiden Soeharto dan angkatan bersenjata pun dimulai.

Aktivisme mahasiswa pasca NKK kemudian berkembang menjadi tiga bentuk, kelompok studi, kelompok aksi, dan Pers Mahasiswa. Kelompok pertama tidak terlihat sebagai kelompok perlawanan terhadap penguasa. Kelompok ini mengambil jalan moderat. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga bercorak sebagai kelompok perlawanan. Menurut Seta, secara umum watak perlawanan aktivis pers kampus hampir sama dengan yang terdapat di kelompok aksi. Perbedaan antara keduanya adalah, aktivis pers mahasiswa mengedepankan aksi informasi, sementara aktivis komite aksi mengedepankan pola aksi jalanan.

Penyaluran aktivitas politik mahasiswa pasca-NKK, menurut Seta, tidak hanya dalam bentuk trikotomi di atas. Masih terdapat satu bentuk lagi, yaitu LSM. Namun LSM ini tidak hanya dianggotai mahasiswa melainkan juga kalangan profesional.

LSM pada akhirnya menjadi salah satu manifestasi kekuatan politik di tingkat masyarakat sipil awal 1990-an. LSM-LSM pada era ini banyak dipengaruhi bergabungnya bekas aktivis mahasiswa yang menjadi anggota inti organisasi. Beberapa LSM ini awalnya berbentuk yayasan.

Salah satu yang berdiri ketika itu adalah Yayasan PIJAR dengan Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum sebagai embrio. Pendirinya adalah beberapa aktivis mahasiswa era akhir 1980-an. Karena itu, menurut Seta, Yayasan PIJAR dapat dikatakan sebagai metamorfosa dari format gerakan mahasiswa, suatu fenomena yang oleh Anders Uhlin disebut sebagai “LSM Generasi Baru”. PIJAR inilah yang kemudian menjadi fokus penelitian Seta Basri.

Pasca penangkapan tokohnya, yaitu Nuku Soleman, pada 1993 PIJAR menjadi PIJAR Indonesia yang diartikan secara akronim sebagai Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi Indonesia. PIJAR Indonesia, menurut Seta, berupaya mengadakan perubahan relasi kekuasaan di dalam sistem politik Orde Baru. Lembaga ini berposisi sebagai distributor komoditas politik dari tingkat masyarakat sipil menuju negara. Di sinilah pergerakan organisasi ini berimplikasi politik.

Anti Soeharto

Dalam bukunya, Seta menyatakan bahwa isu yang dikumandangkan PIJAR Indonesia dalam upaya mempromosikan perubahan politik adalah sama dengan yang dibawakan oleh elemen-elemen gerakan sosial di era 1990-1996 lainnya yaitu HAM dan demokratisasi. Yang khas dari PIJAR adalah metode gerakan lapangan dan pernyataan aksiologi politik yang “Anti Soeharto”. Kekhasan ini terlihat dari pernyataan Amir Husin Daulay, “Jadi, kalau mau ditekankan sebetulnya PIJAR didirikan dengan maksud menjadi semacam embrio atau organisasi perlawanan yang bersifat spontan. Misalnya benar-benar anti-Soeharto, anti rezim. Targetnya menurunkan Soeharto, dengan segala selubung-selubungnya…”.

Seta kemudian menguraikan bagaimana lugas dan terang-terangannya gerakan perlawanan anti-Soeharto dan anti-rezim dilakukan oleh para aktivis PIJAR. Sikap ini membuahkan berbagai penangkapan aktivis PIJAR oleh pemerintah. Maka tak heran jika penggantian Ketua Harian PIJAR begitu sering terjadi. Antara Tahun 1989 sampai Tahun 2003 terjadi pergantian ketua sebanyak 13 kali. Mereka adalah Bonar Tigor Naipospos, Amir Husin Daulay, Tri Agus Siswanto Siswowihardjo, Nuku Soleman, Rachland Nashidik, Eko S. Danandjaja, Anto Kusumayuda, Fery Haryono Machus, B.Y Widyankristyoko, Hakim Hatta, Sulaiman Haikal, dan Ario Adityo.

PIJAR, menurut Seta, spesialis dalam hal pengeksposan isu. Dengan demikian, lanjut Seta, PIJAR mirip seperti kelompok penekan bertipe Promotional Groups. Tipe ini bersifat altruis. Kegiatam semata-mata berada dalam lingkup public interest.

Selain perlawanan anti-Soeharto dan anti-rezim, perjuangan HAM, dan promosi demokratisasi, PIJAR juga menurut Seta pernah mengembangkan wacana Islam transformatif, yaitu ketika masih berbentuk yayasan. Area ini disentuh melalui kegiatan yang dinamakan Pusat Pengembangan Literatur Islam (PPLI) tahun 1990.

Seta selanjutnya menguraikan berbagai aspek baik di internal atau pun eksternal PIJAR. Di sisi internal, Seta antara lain menguraikan dimensi keorganisasian dan kaderisasi PIJAR, termasuk dinamika konflik yang terjadi di dalamnya. Sedangkan di sisi eksternal, Seta menguraikan terjadinya persaingan antarkelompok muda dan suhu politik yang makin dinamis. Kondisi ini, menurut Seta, mendorong PIJAR melakukan pemikiran ulang atas sistem kaderisasinya.

Di sisi eksternal ini juga Seta menguraikan mengenai jaringan aksi PIJAR. Seta membaginya ke dalam dua fokus pembicaraan, yaitu jaringan luar negeri dan dalam negeri. Dari uraian Seta tergambar peran PIJAR dalam berbagai jaringan yang berupaya menyikapi berbagai persoalan baik di dalam atau di luar negeri.

Pada bagian akhir buku ini diuraikan motif keterlibatan mahasiswa ke dalam PIJAR Indonesia. Seta membaginya ke dalam dua bagian yaitu faktor-faktor pemicu minat atas politik, dan motif keterlibatan mahasiswa ke dalam PIJAR sendiri.

Kelebihan buku ini adalah uraian yang lengkap, padat, namun mudah dicerna. Penulis buku berhasil menjelaskan anatomi PIJAR secara jelas, baik pada sisi pergerakan ataupun pada sisi internal struktur keorganisasian. Penulis juga mampu memperlihatkan secara jernih keterkaitan antara PIJAR dengan gerakan mahasiswa dan motif keterlibatan mereka dalam PIJAR Indonesia.

Setelah membaca buku ini kita akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang pergerakan mahasiswa dalam kaitannya dengan perlawanan terhadap penguasa otoriter dan gambaran mengenai PIJAR sendiri. Dengan demikian, terlalu sayang jika buku ini dilewatkan.