KILAS BALIK SINGKAT SANG PUTRA TERBAIK TIDORE


Mereka yang Berani Menantang Risiko

Salam Indonesia !

Teman-teman terkasih, sungguh kami merasakan kehilangan yang amat sangat mendengar berita kepergian Munir, seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia yang akan selalu kita kenal sebagai satu dari sedikit orang-orang cerdas dan berani di Indonesia saat ini. Kepergiannya terasa sebagai shock yang sulit kami terima. Betapa ia dalam usia yang begitu muda kini tidak lagi berada di tengah-tengah kita. Harapan besar yang telah terlanjur kami tanamkan pada pundak orang-orang muda seperti Munir, kini seperti terhempas.
Di saat bangsa ini masih berada dalam suasana yang carut-marut, ketika para pemimpin negara ini belum dapat kita harapkan untuk membangkitkan Indonesia yang sedang terpuruk, ketika itu pula kita kehilangan tokoh independen yang keberaniannya dapat memberikan inspirasi bagi berjuta rakyat kita untuk berdiri dan memerdekakan jiwanya. Karena adanya orang-orang seperti Munir, kami merasa bahwa jiwa bangsa Indonesia masih akan merdeka... Teman-teman semua, keberadaan orang-orang baik itu bagaikan udara. Sering kita tak memperhatikan dan melihatnya kita ia ada bersama-sama kita, namun kita akan merasa kehilangan teramat besar di saat ia tiba-tiba hilang dari antara kita.
Satu per satu, orang-orang muda penuh harapan telah pergi meninggalkan kita. Sebelum Munir, kita telah kehilangan Arnold Purba (Aktivis anti-diskrimansi dari Solidaritas Nusa Bangsa) serta Nuku Soleman Putra terbaik Nusantara yang berasal dari Kota Tidore Maluku Utara (Aktivis PIJAR Indonesia, yang pernah mendekam dalam penjara semasa pemerintahan Orde Baru) yang kesemuanya meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya -- akibat tekanan berat yang dialami karena pekerjaannya.

Orde Baru yang di awal kekuasaannya memunculkan harapan secara perlahan bermetamorfosa menjadi Leviathan, Sang Naga laut, yang menakutkan. Kekuasaannya semakin mencengkeram berbagai aspek kehidupan bernegara, termasuk kehidupan kampus. Gerakan mahasiswa yang di awal terbentuknya Orde Baru merupakan sekutu dalam proses transisi kekuasaan berangsur-angsur “dijinakkan” dan pada akhirnya dibungkam.

Buku yang berjudul “Mereka yang Berani Menentang Risiko: Motif Keterlibatan Mahasiswa ke Dalam PIJAR Indonesia” ini mengungkapkan secara gamblang anatomi gerakan PIJAR Indonesia dengan terlebih dulu diuraikan sejarah gerakan mahasiswa yang di antaranya bermuara pada pendirian organisasi anti-Soeharto. Seta Basri, penulis buku, berusaha memperlihatkan peran yang besar dari PIJAR dalam panggung politik republik era Orde Baru.

Metamorfosa Gerakan Mahasiswa

Puncak pembungkaman gerakan mahasiswa adalah dengan diterbitkanya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang diawali dengan pembekuan Dewan-Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo. NKK, seperti ditulis Seta, secara parsial dapat dikatakan sebagai reaksi pemerintah atas gerakan mahasiswa 1978 yang mulai mempersoalkan eksistensi Soeharto. Dengan terbitnya NKK yang lalu diikuti dengan pembentukan Badan Koordinasi Kampus (BKK), menurut Seta, posisi diametral mahasiswa terhadap personalitas Presiden Soeharto dan angkatan bersenjata pun dimulai.

Aktivisme mahasiswa pasca NKK kemudian berkembang menjadi tiga bentuk, kelompok studi, kelompok aksi, dan Pers Mahasiswa. Kelompok pertama tidak terlihat sebagai kelompok perlawanan terhadap penguasa. Kelompok ini mengambil jalan moderat. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga bercorak sebagai kelompok perlawanan. Menurut Seta, secara umum watak perlawanan aktivis pers kampus hampir sama dengan yang terdapat di kelompok aksi. Perbedaan antara keduanya adalah, aktivis pers mahasiswa mengedepankan aksi informasi, sementara aktivis komite aksi mengedepankan pola aksi jalanan.

Penyaluran aktivitas politik mahasiswa pasca-NKK, menurut Seta, tidak hanya dalam bentuk trikotomi di atas. Masih terdapat satu bentuk lagi, yaitu LSM. Namun LSM ini tidak hanya dianggotai mahasiswa melainkan juga kalangan profesional.

LSM pada akhirnya menjadi salah satu manifestasi kekuatan politik di tingkat masyarakat sipil awal 1990-an. LSM-LSM pada era ini banyak dipengaruhi bergabungnya bekas aktivis mahasiswa yang menjadi anggota inti organisasi. Beberapa LSM ini awalnya berbentuk yayasan.

Salah satu yang berdiri ketika itu adalah Yayasan PIJAR dengan Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum sebagai embrio. Pendirinya adalah beberapa aktivis mahasiswa era akhir 1980-an. Karena itu, menurut Seta, Yayasan PIJAR dapat dikatakan sebagai metamorfosa dari format gerakan mahasiswa, suatu fenomena yang oleh Anders Uhlin disebut sebagai “LSM Generasi Baru”. PIJAR inilah yang kemudian menjadi fokus penelitian Seta Basri.

Pasca penangkapan tokohnya, yaitu Nuku Soleman, pada 1993 PIJAR menjadi PIJAR Indonesia yang diartikan secara akronim sebagai Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi Indonesia. PIJAR Indonesia, menurut Seta, berupaya mengadakan perubahan relasi kekuasaan di dalam sistem politik Orde Baru. Lembaga ini berposisi sebagai distributor komoditas politik dari tingkat masyarakat sipil menuju negara. Di sinilah pergerakan organisasi ini berimplikasi politik.

Anti Soeharto

Dalam bukunya, Seta menyatakan bahwa isu yang dikumandangkan PIJAR Indonesia dalam upaya mempromosikan perubahan politik adalah sama dengan yang dibawakan oleh elemen-elemen gerakan sosial di era 1990-1996 lainnya yaitu HAM dan demokratisasi. Yang khas dari PIJAR adalah metode gerakan lapangan dan pernyataan aksiologi politik yang “Anti Soeharto”. Kekhasan ini terlihat dari pernyataan Amir Husin Daulay, “Jadi, kalau mau ditekankan sebetulnya PIJAR didirikan dengan maksud menjadi semacam embrio atau organisasi perlawanan yang bersifat spontan. Misalnya benar-benar anti-Soeharto, anti rezim. Targetnya menurunkan Soeharto, dengan segala selubung-selubungnya…”.

Seta kemudian menguraikan bagaimana lugas dan terang-terangannya gerakan perlawanan anti-Soeharto dan anti-rezim dilakukan oleh para aktivis PIJAR. Sikap ini membuahkan berbagai penangkapan aktivis PIJAR oleh pemerintah. Maka tak heran jika penggantian Ketua Harian PIJAR begitu sering terjadi. Antara Tahun 1989 sampai Tahun 2003 terjadi pergantian ketua sebanyak 13 kali. Mereka adalah Bonar Tigor Naipospos, Amir Husin Daulay, Tri Agus Siswanto Siswowihardjo, Nuku Soleman, Rachland Nashidik, Eko S. Danandjaja, Anto Kusumayuda, Fery Haryono Machus, B.Y Widyankristyoko, Hakim Hatta, Sulaiman Haikal, dan Ario Adityo.

PIJAR, menurut Seta, spesialis dalam hal pengeksposan isu. Dengan demikian, lanjut Seta, PIJAR mirip seperti kelompok penekan bertipe Promotional Groups. Tipe ini bersifat altruis. Kegiatam semata-mata berada dalam lingkup public interest.

Selain perlawanan anti-Soeharto dan anti-rezim, perjuangan HAM, dan promosi demokratisasi, PIJAR juga menurut Seta pernah mengembangkan wacana Islam transformatif, yaitu ketika masih berbentuk yayasan. Area ini disentuh melalui kegiatan yang dinamakan Pusat Pengembangan Literatur Islam (PPLI) tahun 1990.

Seta selanjutnya menguraikan berbagai aspek baik di internal atau pun eksternal PIJAR. Di sisi internal, Seta antara lain menguraikan dimensi keorganisasian dan kaderisasi PIJAR, termasuk dinamika konflik yang terjadi di dalamnya. Sedangkan di sisi eksternal, Seta menguraikan terjadinya persaingan antarkelompok muda dan suhu politik yang makin dinamis. Kondisi ini, menurut Seta, mendorong PIJAR melakukan pemikiran ulang atas sistem kaderisasinya.

Di sisi eksternal ini juga Seta menguraikan mengenai jaringan aksi PIJAR. Seta membaginya ke dalam dua fokus pembicaraan, yaitu jaringan luar negeri dan dalam negeri. Dari uraian Seta tergambar peran PIJAR dalam berbagai jaringan yang berupaya menyikapi berbagai persoalan baik di dalam atau di luar negeri.

Pada bagian akhir buku ini diuraikan motif keterlibatan mahasiswa ke dalam PIJAR Indonesia. Seta membaginya ke dalam dua bagian yaitu faktor-faktor pemicu minat atas politik, dan motif keterlibatan mahasiswa ke dalam PIJAR sendiri.

Kelebihan buku ini adalah uraian yang lengkap, padat, namun mudah dicerna. Penulis buku berhasil menjelaskan anatomi PIJAR secara jelas, baik pada sisi pergerakan ataupun pada sisi internal struktur keorganisasian. Penulis juga mampu memperlihatkan secara jernih keterkaitan antara PIJAR dengan gerakan mahasiswa dan motif keterlibatan mereka dalam PIJAR Indonesia.

Setelah membaca buku ini kita akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang pergerakan mahasiswa dalam kaitannya dengan perlawanan terhadap penguasa otoriter dan gambaran mengenai PIJAR sendiri. Dengan demikian, terlalu sayang jika buku ini dilewatkan.