Perumusan dan Penyusunan Pasal 30 Ayat (2) pada Bab XII Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara

"Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung."

(Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)

A. Umum

Sebelum jauh melangkah ada baiknya terlebih dahulu memahami mengenai pemahaman makna antara Undang-Undang Dasar dengan Konstitusi. Pada umumnya, konsep pengertian antara Undang-Undang Dasar (selanjutnya disingkat dengan istilah UUD) dan Konstitusi hampir diberikan pemahaman yang sama diantara para kalangan masyarakat umum. Namun tidaklah demikian menurut ilmu teori hukum ketatanegaraan. Berdasarkan kajian akademis, konstitusi adalah hukum dasar (droit constitusionel) yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.[2] Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tidak tertulis dan dapat pula yang tertulis. Konstitusi yang tertulis inilah yang dinamakan sebagai UUD. Karena itu, UUD sebagai konstitusi dalam pengertian sempit ini merupakan konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari.Memasuki tahap perumusan suatu UUD maka dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai beserta norma-norma dasar yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat, begitupun dalam praktek penyelenggaraan suatu negara / konvensi turut pula mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD. Dengan demikian, nuansa atau suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis, politis, historis serta sosiologis perumusan yuridis suatu UUD perlu diketahui dan dipahami secara seksama guna mendapati pengertian yang sebaik-baiknya mengenai ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD. Menurut pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH bahwa suatu UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.[3]Seiring perjalanan waktu dalam sejarah telah memberikan pula situasi dan kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran serta medan pengalaman suatu UUD dengan muatan yang berbeda-beda sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang dan melangkah maju dalam praktek di masa depan. Untuk itulah, penafsiran terhadap UUD pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, menurut Jimly Asshidiqie, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.[4] Oleh karena itu, dalam menyertai perumusan dan penyusunan suatu naskah UUD diperlukan pula adanya pokok-pokok pemikiran konseptual yang melandasi ataupun mendasari setiap perumusan baik pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam UUD serta keterkaitannya secara langsung maupun tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945. Hal demikian akan membawa kita pula dalam pemahaman atas konsepsi tentang negara (staatsidee) sebagai pelengkap norma dasar seperti yang dikemukan dalam pidatonya dimuka Dokuritsu Junbi Cosakai di Jakarta pada tahun 1945.[5]Sehubungan hal tersebut, dalam upaya memahami perumusan dan penyusunan suatu pasal UUD 1945, penulis hanya membatasi pada Pasal 30 ayat (2) seperti yang tercantum pada awal pembukaan penulisan ini. Penulis akan mencoba mengulas pasal tersebut secara eksploratif dari konteks perspektif yang telah dijelaskan diatas. Kemudian, pembahasan ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi kepentingan khalayak umum dan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami pasal tersebut.

B. Sejarah Perumusan UUD 1945

Bagi negara Republik Indonesia kini, Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar, yakni sebagai sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal-pasal yang terdapat pada batang tubuh UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Norma dasar ini dalam penjelasan UUD 1945 menyebutkannya sebagai “cita-cita hukum (rechtsidee)” yang terwujud dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.[6] Dengan demikian, pasal-pasal yang terkandung merupakan pencerminan perwujudan dari Pembukaan UUD dimaksud, begitu pula khususnya pada Pasal 30.

Dalam sejarah perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada akhir Mei 1945 di Jakarta, terdapat beberapa tokoh yang dikenal seperti Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo, dan Ir. Soekarno yang terlibat dalam proses perumusan dan penyusunan Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945.[7] Dalam prosesnya tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membentuk suatu UUD, diantaranya adalah:[8]

1. Bahwa UUD merupakan sebagian dari dari hukum dasar.
2. Bahwa terdapat pokok-pokok pikiran dalam "pembukaan."
3. Bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pasal-pasalnya.
4. Bahwa UUD bersifat singkat dan supel.

Ir. Soekarno, selaku ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat itu, menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan UUD yang bersifat sementara (UUD kilat/revolutie grondwet), sehingga dimungkin dapat segera dilakukan perubahan yang lebih lengkap dan sempurna setelah Indonesia dalam kondisi bernegara dan merdeka didalam suasana yang lebih tenteram.[9] Hal ini menunjukkan adanya keinginan dari Bapak Bangsa untuk melakukan kemerdekaan Indonesia secepatnya dengan landasan hukum yang kuat, yakni suatu konstitusi tertulis dalam bentuk UUD.Perumusan dan penyusunan pasal-pasal dalam UUD 1945, jika ditinjau dari suasana kebatinan dan kondisi pada masa sebelum kemerdekaan RI, akan terlihat bahwa proses pembuatannya dilaksanakan dalam keadaan yang segera dan tergesa-gesa, ditetapkan dalam waktu 1 hari, berstatus sementara, muatannya tidak lengkap dan sempurna, serta ditetapkan bukan oleh badan yang mewakili rakyat.[10] Hal ini dapat dilihat dalam bentuk dan isi dari batang tubuh UUD itu sendiri yang singkat dan jelas, dimana sebagai salah satu syarat utama terbentuknya suatu negara yang merdeka. Hal ini pun memungkinkan pula bahwa UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok maupun garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Hal tersebut diasumsikan bahwa khusus bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok saja, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah dan mencabutnya. Dampak dari hal diatas terpengaruh juga dalam proses perumusan dan penyusunan pasal-pasal keseluruhan dalam batang tubuh UUD 1945, terutama dalam Pasal 30 Bab XII tentang Pertahanan Negara. Pasal 30 ini pada awalnya tertulis sebagai berikut:[11](1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Karena demikian singkatnya, maka dalam Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia pun dijelaskan dengan kalimat "Telah Jelas."

C. Sejarah Perumusan UUD 1945 Hasil Amandemen.

Dalam perspektif teori hukum tata negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui dua pola, yakni Pola Belanda dan Pola Amerika Serikat.[12] Pola pertama adalah dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan, sedangkan pola kedua adalah dalam bentuk amandemen yang dilampirkan pada Konstistusi AS. Perubahan-perubahan tersebut mengandung maksud agar UUD merupakan UUD yang hidup (a living constitution).

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada lima periode UUD yang penah berlaku di Indonesia, antara lain:

1. Masa UUD 1945, berlaku antara 17 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949;
2. Masa Konstitusi RIS, berlaku antara 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;
3. Masa UUD Sementara 1950, berlaku anatara 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
4. Masa UUD 1945, berlaku kembali sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999.
5. Masa UUD1945 Perubahan I – IV, berlaku sejak 19 Oktober 1999 s/d sekarang.

Adapun perincian perubahan UUD 1945 hasil amandemen sebagai berikut:

- UUD 1945 Perubahan I, 19 Oktober 1999 s/d 18 Agustus 2000.

- UUD 1945 Perubahan II, 18 Agustus 2000 s/d 9 November 2001.

- UUD 1945 Perubahan III, 9 November 2001 s/d 10 Agustus 2002.

- UUD 1945 Perubahan IV, 10 Agustus 2002 s/d sekarang.



Dalam empat periode terakhir berlakunya macam-macam UUD diatas, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, sampai diubahnya UUD 1945 melalui proses amandemen.[13]

Pada proses amandemen UUD 1945 di akhir abad XX dalam era reformasi, MPR melalui Sidang Umumnya menetapkan Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 dengan mengubah beberapa pasal dalam UUD 1945.[14] Perancangan perubahan ini dilakukan dengan berlandasankan pada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang perubahan UUD. Perubahan Pertama tersebut kemudian dilanjutkan dengan Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga. Hal tersebut tampak jelas dalam penegasan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI Untuk Melanjutkan Perubahan UUD Negara RI 1945. Tap MPR ini memerintahkan agar BP-MPR mempersiapkan rancangan termaksud untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus 2000.[15]

Seperti yang diamanatkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 sebagaimana disebutkan diatas, maka pada Sidang Tahunan MPR pertama yang diselenggarakan pada tanggal 7 s/d 18 Agustus 2000 dilakukan Perubahan Kedua UUD 1945. Dalam Perubahan Kedua ini, para wakil rakyat tersebut melakukan perubahan terhadap pasal-pasal.[16] Pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 30 mengenai Pertahanan Negara, yang selanjutnya akan dibahas pada bagian berikutnya. Perubahan itu diantaranya dilakukan dengan mengubah rumusan pasal-pasal yang bersangkutan dan/atau dengan menambah beberapa ayat dari pasal yang bersangkutan.[17]

Sejak ditetapkannya Perubahan Pertama yang kemudian diikuti oleh Perubahan Kedua UUD 1945, di kalangan masyarakat sudah mulai timbul pandangan-pandangan kritis terhadap isi dari perubahan tersebut. Kritik tentang pertentangan antara isi pasal dengan penjelasan tersebut sebenarnya telah agak mereda setelah masyarakat menerima penjelasan bahwa MPR memang akan menghapuskan Penjelasan UUD 1945, dan akan mengambil butir-butir yang penting guna dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD 1945.[18]

D. Perumusan Pasal 30 UUD 1945 Hasil Amandemen II

Pasal 30 yang membahas masalah tentang Pertahanan Negara ini sebelum dilakukan perubahan hanya memiliki 2 (dua) ayat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal perumusan dan penyusunan pasal ini, kita dapat melihat dan meneliti dari maksud asli (original intend) ataupun pemahamannya pada saat rumusan pasal tersebut diperdebatkan pada Sidang Tahunan MPR 2000.

Hal tersebut dapat dilakukan penelitian secara historis pada Risalah Rapat Pleno ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Rapat ini diselenggarakan pada hari Selasa, 20 Juni 2000, pukul 10:00 s/d 11:46 WIB, dan bertempat di ruang GBHN dengan pokok acara: “Pembahasan tentang Rumusan Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan Negara.” Rapat Pleno ini dipimpin oleh Drs. H. Slamet Effendy Yusuf dan Drs. Ali Masykur Musa MSi selaku Sekretaris Rapat. Anggota yang hadir sebanyak 36 orang dan 9 orang tidak hadir.[19]

Berdasarkan jalannya rapat dalam risalah tersebut, acara dibuka oleh pimpinan rapat dengan 1 kali ketokan palu. Pimpinan kemudian memasuki pembahasan Pasal 30 tersebut. Menurutnya masalah “tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara” ini sempat dibicarakan ketika membicarakan mengenai hak asasi manusia dan mengenai hak warga negara. Untuk selanjutnya pimpinan mempersilahkan pembicara dari berbagai fraksi untuk mengemukakan usulnya. Adapun pembicara dari berbagai fraksi beserta usulan atau pembahasannya mengenai Pasal 30 UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. Drs. Anthonius Rahail (F-KKI)

F.KKI mengusulkan mengusulkan pasal 30 ini tetap dengan penekanan pada ayat (2). Disini dimaksudkan agar nanti didalam UU akan mengatur tentang fungsi dan peran militer dan kepolisian. Dua aspek yang ditekankan adalah: pertama, aspek dalam negeri adalah kepolisian yang dalam praktek menjaga keamanan dalam negeri. Kedua, keamanan negara ada pada militer yaitu luar negeri. Fungsi pertahanan adalah militer (AD, AL dan AU).

2. Sutjipto, SH (F-UG)

Fraksi ini mengusulkan Bab XII menjadi 3 bab, yaitu Bab I tentang Pembelaan Negara, Bab 2 tentang TNI, dan Bab II tentang Kepolisian Negara. Fraksi UG memandang perlu dipisahkan tugas mengenai TNI dan Kepolisian.

3. Hendy Tjaswasdi, SH, SE, MBA, CN, Mhum (F-TNI/POLRI)

Fraksi ini menganggap bahwa pasal ini masih relevan sehingga diusulkan tetap. Dalam pengertian pertahanan dan keamanan, ada yang membedakan secara tegas pertahanan adalah mengahdapi ancaman dari luar dan keamanan adalah didalam negeri. Walaupun TNI identik dengan AD yang melakukan pertahanan tetapi hal itu memungkinkan, karena AL dan AU juga melakukan keamanan, menegakan hukum dan kedaulatan negara di udara dan laut. Sehingga jika pertahanan untuk TNI (AD, AL, AU) maka tidak ada payung UU/konstitusi yang melindungi AU dan AL bertugas sehari-hari.

4. Asnawi Latief (F-PDU)

Mengusulkan ada penyempurnaan dan atau penambahan judul bab sehingga menjadi Pembelaan dan Pertahanan Negara, untuk memayungi AU dan AL dalam membela. Disamping itu, bab tersebut dipecah menjadi 3 bab dengan penambahan 2 bab tentang TNI dan Kepolisian Negara. Kemudian fraksi ini pun mengusulkan adanya Bab tersendiri mengenai Kepolisian yang didasarkan mempunyai multi tugas sebagai penyelidik, penyidik, pengamanan, penertiban dan pengayoman terhadap masyarakat.

5. Sutjipno (F-PDIP)

Fraksi ini menyampaikan visi/pandangan konseptual tentang konsepsi Pertahanan Negara dan Keamanan Negara secara mendetail. Fraksi PDIP mengusulkan Bab Pertahanan Negara menjadi 2 Bab, yakni Bab XIII mengatur Pertahanan Negara dengan inti kekuatan adalah TNI dan Bab XIV mengatur Keamanan Negara dengan inti kekuatan adalah Polisi Nasional Indonesia.

6. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa (F-PG)

Fraksi Golkar ini menyampaikan 4 pandangan, diantaranya substansi pertahanan negara erat kaitannya dengan substansi keamanan negara sehingga perlu adanya ketegasan dan pemisahan yang cukup tegas, penegasan TNI sebagai alat negara yang menjalankan kekuatan utama pertahanan negara, POLRI sebagai aparatur pemerintah yang bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban dalam negeri sekaligus aparat penegak hukum yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat berdasarkan hukum, adanya pembedaan fungsi dan kekuatan TNI & POLRI. Fraksi ini mengusulkan judul Bab dirubah menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Selain mengusulkan menjadi 3 Pasal, yang keseluruhannya terdiri 6 ayat, juga menyampaikan pasal yang mengatur hubungan interaksi ketika 2 institusi itu harus berhubungan dalam rangka melaksanakan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan.

7. Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP)

Fraksi ini mengajukan 4 ayat dalam bab ini. Dengan begitu tetap 1 bab namun disempurnakan pada judul bab menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Fraksi ini mengusulkan masalah pertahanan dan keamanan negara diatur dengan UU sehingga masalah struktur internal masing-masing instansi diatur dengan UU lebih lanjut. Akan tetapi, pemisahan bidang pertahanan bagi TNI dan keamanan bagi POLRI tetap dibedakan.

8. Drs. Abdul Khaliq Ahmad (F-KB)

Fraksi ini memberikan pandangan sebagai berikut: dimensi force dan security harus direpresentasikan tertulis dalam konstitusi, TNI sebagai alat negara harus ada penegasan eksplisit agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seprti pada masa lalu, institusi kepolisian juga harus eksplisit disebut dalam konstitusi karena fungsinya sebagai alat keamanan negara juga sebagai penegak hukum. Fraksi ini mengusulkan nama Bab tidak berubah, tetapi terdapat penambahan pasal baru menyangkut susunan kedudukan dan tugas TNI & POLRI, profesionalisme dilingkungan tentara dan kepolisian dibidang masing-masing, dan penegak hukum yang independent dan bebas dari institusi lain termasuk militer dalam rangka penegakan supremasi hukum di Indonesia.

9. Ir. A.M. Lutfi (F-Reformasi)

Fraksi ini mengusulkan judul menjadi Pembelaan Negara dan memasukkan pasal 30 ini menjadi 3 pasal tentang Pembelaan Negara, TNI, dan POLRI, yang masing-masing terdiri dari 3 ayat. Dalam salah satu ayat pasal tentang pembelaan Negara mencantumkan bahwa usaha pembelaan Negara dilakukan oleh TNI dan POLRI sebagai inti kekuatan dan dibantu oleh rakyat yang telah diorganisir, dilatih dan disiapkan secara khusus dalam pembelaan Negara.

10. Harun Kamil, SH (F-PDKB)

Fraksi ini berpendapat tetap pada pasal yang lama, namun ditambah ayat baru mengenai tanggung jawab TNI dalam hal memperthankan kedualatan dan keutuhan negara. Kemudaian fraksi ini menambah pasal baru yang memperjelas fungsi dan tugas POLRI yang diperbaharui.

Setelah seluruh fraksi yang hadir menyampaikan pendapat dan usulannya maka pimpinan rapat memberikan garis besar apa yang telah dikemukakan mengenai perumusan dan penyusunan pasal 30 tersebut. Sidang kemudian diakhiri pada pukul 11:46 yang ditutup dengan ketokan palu sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian dari risalah tersebut maka original intend mengenai perumusan dan penyusunan pasal mengenai pertahanan Negara ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:[20]

1. Pandangan terhadap nama bab dan judul:
1. Ada yang meminta tetap;
2. Ada yang menggabungkan kata pembelaan dan pertahanan negara;
3. Ada yang menggabungkan kata pertahanan dan keamanan negara;
4. Ada yang meminta pembelaan negara;
5. Ada yang memisahkan bab ini menjadi tiga, yakni scara berturut-turut adalah Bab Pertahanan Negara, Bab TNI dan Bab Kepolisian Negara.
2. Pandangan tentang substansi Bab:
1. Sebagian besar fraksi-fraksi memandang penting untuk melakukan pemisahan secara jelas fungsi pertahanan dan keamanan, walaupun demikian ada fraksi yang meminta supaya terdapat pengaturan interaksi diantara fungsi-fungsi tersebut;
2. Mengenai keterlibatan rakyat, dalam hal ini adalah milisi ataupun rakyat terlatih.

E. Analisa Terhadap Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 Hasil Amandemen

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perubahan terhadap perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 seperti tercantum pada awal tulisan ini adalah merupakan hasil dari Perubahan Kedua UUD 1945. Pemahaman yang kita ketahui mengenai adanya perubahan tersebut sebagaian besar adanya kehendak untuk memisahkan peran TNI dan POLRI dalam usaha dibidang pertahanan dan keamanan sebagai kekuatan utama dalam upaya peranan pertahanan dan keamanan negara yang dilaksanakan melalui suatu rumusan sistem yang disebut HANKAMRATA.[21] Implementasi dari Pasal 30 tersebut diantaranya adalah adanya pemisahan TNI dan POLRI pada era reformasi yang menunjukkan paradigma baru ABRI dalam sistem ketatanegaraan. Hal ini mengandung maksud bahwa hampir diseluruh dunia, kepolisian bukanlah bagian dari fungsi militer melainkan polisi berada dibawah otoritas sipil yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta pengayoman terhadap masyarakat. Kerancuan terminologi yang disebabkan oleh menyatunafaskan pertahanan dengan keamanan pada masa rezim yang lalu telah membawa paradigma yang keliru sehingga para pengambil keputusan politik merespon tuntutan masyarakat untuk memisahkan TNI dan POLRI.[22] Sesungguhnya mengenai permasalahan ini telah dibahas jauh-jauh hari sebelum berlangsungnya proses penyusunan dan perumusan Pasal 30 UUD 1945. Pendalaman materi peran TNI dan POLRI telah dibahas oleh Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR pada hari Selasa, 22 Pebruari 2000, di ruang Nusantara IV dengan pimpinan rapat oleh Hj. Aisyah Aminny, SH.[23]

Dalam rapat pembahasan itu telah dijelaskan secara rinci mengenai reposisi, redefinisi, dan reorganisasi baik peran TNI maupun peran POLRI secara keseluruhan. Inti dari rapat tersebut salah satunya menyimpulkan bahwa dengan kewenangan POLRI dibidang keamanan, tidak berarti TNI dibebaskan dari urusan keamanan dalam negeri (Kamdagri) dalam kondisi tertentu dimana kedaulatan negara terancam maka TNI sesuai dengan ketentuan yang (akan) berlaku, baik UU Penanggulangan Keadaan Bahaya atau apapun bentuknya, nanti akan tampil untuk menegakkan kembali kedaulatan.[24] Penjabaran pemisahan TNI dan POLRI berikut perannya kemudian dituangkan dalam dua bentuk Ketetapan MPR RI sebagai dasar sebelum adanya ketentuan perarturan perundang-undangan yang mengaturnya, antara lain adalah TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI. Dengan demikian, kedua institusi tersebut menjadi terpisah secara kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, yakni TNI sebagai alat negara yang berperan dalam pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan POLRI adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[25]

Seiring perubahan terhadap Pasal 30 UUD 1945 yang semula terdiri dari dua ayat sehingga menjadi 4 ayat, telah memberi penegasan sebagai hukum dasar mengenai pengaturan masalah pertahanan dan keamanan. Pemisahan ini pula timbul dari suasana kebatinan dari para wakil rakyat yang hendak mewujudkan pemisahan dwifungsi TNI dan keprofesionalitasannya sebagai alat negara. Hal ini salah satunya mungkin mendorong munculnya langkah baru yang lebih inovatif yang telah mempengaruhi masuknya pasal itu.[26] Namun demikian, terhadap perubahan pasal tersebut tidak banyak dikomentari dalam kalangan TNI maupun POLRI, melainkan kedua institusi ini memberikan sikapnya dengan menyampaikan beberapa rekomendasi secara menyeluruh mengenai amandemen UUD 1945 yang secara garis besar mendukung sepenuhnya hasil Sidang Tahunan MPR tersebut.[27]

Pada bulan Agustus 2003, Tap MPR No. I/MPR/2003 mengugurkan kedua TAP MPR diatas setelah disahkannya Undang-undang yang mengatur tentang POLRI dan Pertahanan Negara. Begitu pula pada pertengahan bulan Oktober 2004, DPR mensahkan kembali UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan demikian, pada awal Maret 2005 telah ada UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri dan UU tentang TNI. Namun, satu hal yang menjadi persoalan hingga kini adalah belum adanya UU tentang “Keamanan Negara” guna merangkai Keamanan Negara dalam satu sistem dengan Pertahanan Negara, sehingga baik UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri maupun UU tentang TNI sama sekali tidak menyebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai landasan pokok pemikiran bahwa terdapat kaitan sinergis antara fungsi pertahanan negara dengan keamanan negara.[28]Dengan demikian, jika kita meninjau Pasal 30 ayat (2) dan konsisten dengan amanat pasal tersebut, yakni membangun sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, maka perlu disiapkan UU yang mengatur tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang isinya mengandung muatan semangat dan performa “sishankamrata.” Disamping itu, apabila penyebutan pertahanan negara dan keamanan negara dipilih sebagai istilah standar pada judul Bab XII UUD 1945 maka secara logika seharusnya dibuat UU yang mengatur Keamanan Negara untuk mewadahi UU tentang POLRI sebagaimana halnya UU Pertahanan Negara untuk mewadahi UU tentang TNI. Konsepsi pemikiran demikian seharusnya telah disadari sebelumya oleh para pembentuk UU sebagai implementasi dari perumusan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 sehingga rasio pemikiran terhadap pasal tersebut tidak menjadi rancu, dimana dibuat UU payung untuk melaksanakan UU kedua institusi tersebut agar saling bersinergis dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.Sinergi TNI-POLRI dalam rangka pengembangan wawasan sishankamneg dan penegakan hukum dapat dilihat dari beberapa hal yang urgensi, antara lain:[29] pertama, menetralisir adanya kesan bahwa secara kelembagaan POLRI sekarang "merdeka" dari pengaruh TNI sehingga bebas menentukan kebijaksanaannya sendiri. Kedua, mendorong perubahan perilaku polisi dari alat pertahanan dan keamanan dalam perspektif negara otoriter menuju alat penegak hukum didalam negara yang demokratis. Dan ketiga, mencegah adanya egoisme sektoral dan sebaliknya meningkatkan kerjasama diantara dua kekuatan yang sama-sama memiliki senjata, yakni TNI dan POLRI. Oleh karena itu ada baiknya UU payung yang akan mengatur masalah pertahanan dan keamanan negara seperti tersebut diatas, sepatutnya dibahas secara bersama dengan RUU yang relevan atau berkaitan dengan masalah tersebut, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU Intelijen Negara, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Peradilan Militer sebagai bahan program legislasi nasional periode mendatang. Konsepsi pertahanan dan keamanan negara yang berorientasi ke masa depan perlu mampu mengantisipasi perkembangan di masa depan pula yang berpengaruh terhadap masalah pertahanan dan keamanan. Sehubungan dengan hal itu, maka konsepsi pertahanan dan keamanan harus mampu melihat lingkup pertahanan dan keamanan negara secara utuh dan komprehensif yang mencakup:[30]

1. kondisi obyektif bangsa dan negara saat ini;
2. nilai budaya bangsa yang merupakan perpaduan dari ciri budaya maupun pengaruh empirik sejarah bangsa; serta
3. kepentingan untuk mampu merespon tantangan masa depan.

Untuk memahami dengan seksama Pasal 30 ayat (2) tidak dapat terlepas dalam memahami Pasal 30 secara keseluruhan. Oleh karenanya wajib mengelar pasal 30 serta ayat-ayat yang terkandung didalamnya secara utuh dan lengkap. Dalam suatu negara demokrasi, kepedulian tentang pertahanan & keamanan negara dalam arti luas adalah hak dan kewajiban tiap warga negara sebagaimana tercantum di ayat (1) Pasal 30 UUD 1945.

F. Perbandingan dengan Negara lain

Dalam hal membandingkan Pasal 30 UUD 1945 tersebut dengan pasal-pasal yang berkaitan atau berhubungan dengan bidang pertahanan dan keamanan pada beberapa konstitusi negara-negara asing yang diperoleh, maka sedikitnya dapat memberikan gambaran mengenai pasal yang serupa atau setidaknya terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan. Adapun konstitusi-konstitusi mancanegara itu terbatas pada konstistusi sebagai berikut:

1. Konstitusi Amerika Serikat[31]

Dalam konstitusi AS, bidang pertahanan dan keamanan Negara tidak tercantum ataupun diatur secara eksplisit baik dalam artikel-artikel maupun pasal-pasalnya. Kendati demikian, masalah pertahanan disediakan bersama sebagai Rakyat AS pada pembukaan konstitusi sebagai salah satu tujuan memproklamirkan dan menetapkan konstitusinya..

2. Konstitusi Australia[32]

Dalam konstitusi Australia terdapat satu pasal mengenai masalah pertahanan, yaitu Pasal 119 tentang Perlindungan atas Negara Bagian dalam Bab V mengenai Negara Bagian, yang berbunyi: “Persemakmuran akan melindungi tiap-tiap Negara Bagian terhadap invasi dan, dengan aplikasi dari Pemerintah Eksekutif Negara Bagian, menghadapi kekerasan domestik.”

3. Konstitusi Belanda[33]

Menurut konstitusi Belanda bahwa masalah yang berkaitan erat dengan bidang pertahanan diatur dalam 6 pasal, yakni pasal 97, 98, 99, 100, 101 dan 102, dan masalah keamanan diatur hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 103. Semua pasal ini termasuk dalam Bab V mengenai Perundang-undangan dan Administrasi yang masuk dalam Bagian 2 tentang Ketentuan Lainnya.

4. Konstitusi Jepang[34]

Berdasarkan pembukaan konstitusi Jepang bahwa Rakyat Jepang telah menentukan untuk memelihara keberadaan dan keamanan mereka. Namun hal tersebut tidak dijelaskan dalam pasal-pasalnya sehingga tidak ada pasal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara. Akan tetapi, terdapat 1 pasal dalam Bab II yang menjelaskan mengenai Penolakan Perang, yakni pasal 9 yang terdiri dari 2 ayat. Pasal ini menegaskan Rakyat Jepang mengharap perdamaian internasional yang berdasar keadilan & ketertiban sehingga dalam rangka memenuhi tujuan itu, AD, AL dan AU, seperti potensi peperangan lainnya, tidak akan dipelihara.

5. Konstitusi Swedia[35]

Mengenai masalah pertahanan dalam konstitusi Swedia dinyatakan dalam dua Bab, yakni Bab 10 mengenai Hubungan Dengan Negara Lain, terdapat dalam pasal 9 yang terdiri dari 3 ayat. Pasal ini intinya adalah pengerahan angkatan bersenjata swedia. Sedangkan Bab lain yang lebih khusus adalah Bab 13 mengenai Peperangan dan Bahaya Peperangan, yang terdiri atas 13 pasal yang berkaitan atas berbagai hal apabila negera sedang berperang atau dalam bahaya perang.

Demikian penyampaian penulisan kami dalam memahami proses perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 hasil Perubahan Kedua. Semoga dapat bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan.

* * *



Pembahasan selengkapnya silahkan lihat tesis kami yang berjudul:

“POLITIK HUKUM KEAMANAN NASIONAL SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA.” JAKARTA: FHUI, 2006.



DAFTAR PUSTAKA

Alrasid, Harun. “Membangun Indonesia Baru dengan UUD Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima).” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta, 31 Oktober 1998.

Arinanto, Satya. “Perubahan Undang-undang Dasar 1945.” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945, Jakarta, 15 Agustus 2002.

Aritonang, Baharuddin. “Suasana Kebatinan dalam Penyusunan UUD.” . 26 November 2001. diakses tanggal 6 Desember 2005

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Cet. I. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_____. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Cet. II. Jakarta: Yarsif Watampone, 2003.

_____. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Cet. II. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri Departemen Kehakiman dan HAM RI. Terjemahan Konstitusi Negara Asing, Jakarta: Depkeh dan HAM, 2004.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Cet. I. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945

_____. Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

_____. Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kristiadi, J. “Demokratisasi dan Strategi Keamanan Nasional yang Partisipatif” dalam Perspektif Baru Keamanan Nasional, cet. I, diedit oleh Bantarto Bandoro. Jakarta: CSIS, 2005.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Sidang Tahunan MPR RI 7 – 18 Agustus 2000. Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000.

Muchsin. Ikhtisar Sejarah Hukum. Cet. I. Jakarta, Badan Penerbit IBLAM, 2004.

Risalah Rapat Pleno Ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR mengenai Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Buku Kedua Jilid 3 C.

Risalah Rapat Ke-25 Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mengenai Pendalaman Materi Peran TNI/POLRI. Buku Kedua Jilid 6 A.

Rudy, T. May. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Cet. I. Jakarta, Refika Aditama, 2002.

Samego, Indria. “Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara dalam Perspektif Demokratisasi: Sebuah Pengantar” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem). Cet. I. Diedit oleh Indria Samego. Jakarta: The Habibie Center, 2001.

Sikap TNI dan POLRI Terhadap Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. . 30 Juli 2002. diakses tanggal 6 Desember 2005. Sikap TNI-POLRI Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945 Pada ST MPR 2002, . 16 September 2002. diakses tanggal 6 Desember 2005. Simandjuntak, Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Cet. III. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2003. Sudarsono, Juwono. “Pertahanan dan Keamanan Negara.” . diakses tanggal 6 Desember 2005

Widjojo, Agus. “Wawasan Masa Depan Tentang Sistem Pertahanan Keamanan Negara” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem). Cet. I. Diedit oleh Indria Samego. Jakarta: The Habibie Center.

[1] Alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

[2] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 35.

[3] Ibid., hal. 36.

[4] Ibid.

[5] Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, cet. III, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2003), 44-45.

[6] Ibid., hal. 28.

[7] Ibid., hal. 8.

[8] Lihat Penjelasan Tentang UUD Negara Indonesia 1945 yang asli.

[9] Satya Arinanto, “Perubahan Undang-undang Dasar 1945,” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945, Jakarta, 15 Agustus 2002), hal. 3.

[10] Harun Alrasid, “Membangun Indonesia Baru dengan UUD Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima),” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta, 31 Oktober 1998), hal. 3-4.

[11] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945, Pasal 30.

[12] Satya Arinanto, op.cit., hal. 7.

[13] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. I, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 124.

[14] Pasal-pasal yang diubah pada Perubahan Pertama adalah Pasal 5 (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945. Dalam batas-batas tertentu, Perubahan Pertama ini telah menitikberatkan pergeseran sistem pemerintahan dari pihak eksekutif kepada pihak legislatif. Meskipun demikian masih mengandung beberapa kelemahan didalamnya.

[15] Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999), hal. 109-111.

[16] Pasal-pasal yang diubah pada Perubahan Kedua adalah Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 36 UUD 1945.

[17] Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Sidang Tahunan MPR RI 7 – 18 Agustus 2000, (Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000), hal. 7-13.

[18] Satya Arinanto, op.cit., hal. 12-13.

[19] Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR mengenai Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Buku Kedua Jilid 3 C, hal. 555-579.

[20] Ibid., hal. 574.

[21] HANKAMRATA adalah singkatan dari Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta.Lihat juga Juwono Sudarsono, “Pertahanan dan Keamanan Negara,” , diakses tanggal 6 Desember 2005.

[22] J. Kristiadi, “Demokratisasi dan Strategi Keamanan Nasional yang Partisipatif” dalam Perspektif Baru Keamanan Nasional, cet. I, diedit oleh Bantarto Bandoro, (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 21.

[23] Lihat Risalah Rapat Ke-25 Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mengenai Pendalaman Materi Peran TNI/POLRI, Buku Kedua Jilid 6 A, hal. 873-910.

[24] Ibid. hal. 908.

[25] Indonesia, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 1 dan pasal 2 ayat (1) dan (2) junto Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 2 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1).

Lihat juga Risalah Hasil-hasil Sidang Tahunan MPR RI (Sidang Tahunan 2000), Buku Ketiga Jilid 18, hal. 77-91.

[26] Baharuddin Aritonang, “Suasana Kebatinan dalam Penyusunan UUD, , 26 November 2001, diakses tanggal 6 Desember 2005.

[27] Lihat Sikap TNI dan POLRI Terhadap Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, , 30 Juli 2002, dan lihat juga Sikap TNI-POLRI Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945 Pada ST MPR 2002, , 16 September 2002, diakses tanggal 6 Desember 2005.

[28] Juwono Sudarsono, op.cit.

[29] Indria Samego, “Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara dalam Perspektif Demokratisasi: Sebuah Pengantar” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem), cet. I, diedit oleh Indria Samego, (Jakarta: The Habibie Center, 2001), hal. 11-12.

[30] Agus Widjojo, “Wawasan Masa Depan Tentang Sistem Pertahanan Keamanan Negara” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem), cet. I, diedit oleh Indria Samego, (Jakarta: The Habibie Center, 2001), hal. 58.

[31] Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri Departemen Kehakiman dan HAM RI, Terjemahan Konstitusi Negara Asing, (Jakarta: Depkeh&HAM, 2004), hal. 1.

[32] Ibid., hal. 74

[33] Ibid., hal. 113-114.

[34] Ibid., hal. 136 dan 140.

[35] Ibid., hal. 217 dan 227-232.

Urgensi Amendemen UUD 1945 Sebelum Pemilu 2009

Belakangan ini setelah perombakan kabinet menyita perhatian, mencuat kembali permasalahan usulan amendemen UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan perlunya amendemen kembali UUD 1945, terutama menyangkut pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangannya (22D ayat 1, 2 dan 3).

Usul tersebut akhirnya diwujudkan dengan terkumpulnya 238 suara pada 8 Mei 2007, sehingga memenuhi jumlah suara minimal (kuorum) sebanyak 226 anggota MPR, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945. Anehnya, sehari setelah usul akan diajukan kepada MPR, Partai Demokrat menarik kembali dukungan suara 23 anggotanya. Dengan demikian usul amendemen yang sudah sekian lama diupayakan DPD mentah kembali.

Penarikan kembali dukungan suara Partai Demokrat secara substantif dapat mengubur kembali harapan dan peluang amendemen UUD 1945 yang sudah di depan mata. Penarikan itu jelas merugikan Partai Demokrat sendiri, mengingat Presiden Yudhoyono yang berasal dari Partai Demokrat sering kali dihadapkan pada persoalan-persoalan pemerintahan yang berawal dari ketidakjelasan UUD 1945. Tetapi, kabar terbaru dari wacana ini, DPD berhasil kembali mengumpulkan dukungan sehingga melebihi batas minimal untuk mengajukan usul amendemen UUD 1945.

Perkembangan-perkembangan mengenai wacana amendemen V UUD 1945 menunjukkan suatu tanda positif akan kepedulian terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia, sehingga usul amendemen UUD 1945 merupakan sebuah "keniscayaan". Hal itu dikarenakan hasil empat kali amendemen UUD 1945 banyak kelemahan, yang menimbulkan persoalan-persoalan di dalam praktik pemerintahan. Persoalan-persoalan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan cara pembuatan undang-undang, yang sampai sekarang masih dilakukan lembaga legislatif. Cara tersebut hanya bersifat tambal-sulam dan tidak menyelesaikan masalah, karena persoalan yang dipermasalahkan sangat mendasar, yang seharusnya diatur dalam suatu UUD. Melalui amendemen kembali UUD 1945 merupakan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Akan tetapi amendemen kembali UUD 1945 tidak bisa dilakukan secara parsial. Jangan pula kita terjebak mengamendemen UUD tapi terbatas pada kewenangan DPD karena DPD yang mengusulkan. Amendemen ini harus dijadikan pintu masuk untuk membenahi UUD 1945 yang selama ini dirasakan kurang mampu menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan. Amendemen tersebut harus dilakukan secara komprehensif menyangkut soal kejelasan posisi dan hubungan (checks and balances) kelembagaan negara yang terdapat pada Kejelasan Sistem Pemerintahan, Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Kehakiman.

Permasalahan di atas dapat kita simpulkan dari berbagai perkembangan ketatanegaraan yang ada setelah amendemen IV UUD 1945 juga kasus-kasus yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi.

DPD yang menginginkan lembaganya diperkuat supaya lebih mempunyai daya tawar terhadap undang-undang yang berkaitan dengan daerah, yang mau tidak mau harus mengubah Pasal 5 dan 22D, solusi itu juga sesuai dengan hasil Komisi Konstitusi yang menginginkan sistem parlemen kita menjadi strong bicameralism. Permasalahan DPD akan berakibat pada lembaga MPR yang diatur pada Pasal 2 dan 3 UUD 1945, yang selama ini masih dipertahankan untuk dievaluasi keberadaannya, apakah diperlukan atau tidak lembaga ini menjadi lembaga parlemen ketiga setelah DPR atau DPD, ataukah hanya bersifat joint session antara lembaga DPR dan lembaga DPD.

Praktik selama ini yang kita lihat, fungsi dan wewenang lembaga MPR tidak bersifat rutin, sehingga tidak diperlukan lembaga permanen. Sistem pemerintahan kita yang presidensial dan diatur dalam Pasal 4-16 UUD 1945 seharusnya diperkuat untuk mengimbangi kewenangan-kewenangan pada legislatif, sehingga sistem presidensial kita berjalan sebagaimana mestinya.

Kekuasaan kehakiman yang sekarang tidak jelas aturan mekanisme checks and balancesnya harus juga diatur dalam UUD, karena setelah putusan MK pengawasan terhadap lembaga pemegang kekuasaan kehakiman menjadi tidak jelas. Komisi Yudisial akhirnya menjadi tumbal dari ketidakjelasan itu. Peran Komisi Yudisial secara nyata yang dapat dirasakan hanyalah pada saat pemilihan calon hakim agung dan tidak pada fungsi pengawasannya. Mnejadi tidak jelas siapa yang mengawasi hakim konstitusi, sehingga tidak tercapai mekanisme checks and balances yang dulu diharapkan.

Penguatan atau daya paksa putusan MK pun seharusnya diatur dalam UUD, karena bagaimana lembaga negara lain mau menghormati putusan MK kalau tidak jelas daya paksanya? Hal itu terlihat dari keengganan pemerintah menjalankan putusan MK mengenai Anggaran Pendidikan dalam UU APBN.

Jika ingin lebih maju dalam hal kontrol masyarakat terhadap lembaga negara adalah dengan memasukkan Constitutional Complaint (CC) dalam UUD, karena dengan memasukkan CC ke dalam UUD peraturan dan kebijakan yang dirasakan individu masyarakat bertentangan dengan UUD dapat diajukan ke MK.

Mengingat pentingnya amendemen UUD 1945, prosesnya harus dilakukan sebelum Pemilu 2009 melalui komisi/badan khusus yang dibentuk untuk itu. Karena, setelah Pemilu 2009 konfigurasi politik akan berubah. Walaupun mungkin masih tetap ada anggota DPD yang ingin melanjutkan perjuangan itu, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk tidak melanjutkannya. Kalaupun dilanjutkan, anggota DPR dan DPD terpilih akan tersita waktunya terlebih dahulu untuk beradaptasi dengan pekerjaan juga urusan-urusan internal lembaga mereka.

Dengan adanya komisi/badan khusus yang dibentuk diharapkan rumusan-rumusan UUD 1945 menjadi lebih komprehensif, karena akan dibahas ahli-ahli juga komponen masyarakat yang mengerti betul permasalahan dan solusi terhadap materi UUD 1945.

Bukankah naskah dan bahan perbaikan UUD 1945 telah dibuat Komisi Konstitusi sehingga sudah ada bahan dasar dalam melakukan amendemen?

Keuntungan lain dari pembentukan badan/komisi khusus adalah MPR tinggal membahas pada tahap final dan mengesahkannya dengan tidak mengganggu pekerjaannya sebagai anggota DPR dan DPD, yang sibuk mengerjakan dan membahas UU.

Hak Uji Materiil (Menurut Amandemen UUD 45 Dan Perbandingan MA Di Amerika Serikat)

I. PENDAHULUAN

Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yaitu:
a. hak menguji formil (formele toetsingsrecht),
b. hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).

Yang dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas.
Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d UU No. 22 Tahun 1999). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.

Yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu 3:
1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review)
2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan
3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).

Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the supreme law."
Dalam hal ini, agar UUD dapat dilindungi atau terproteksi, maka keberadaan hak menguji materiil sebagai bagian dari "the guarentees of the constitution." UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Secara a contario peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak boleh menyimpangi, bertentangan atau tidak konsisten dengan UUD. Keberadaan hak menguji materiil pada hakekatnya berupa alat kontrol atau pengendali terhadap kewenangan suatu peraturan perundang-undangan, jika ada pendapat menyatakan hak menguji materiil berkaitan dengan konsep trias politika adalah suatu kekeliruan. Dalam konsep trias politika, khususnya konsep "seperation of power," fungsi satu badan tidak dibenarkan melakukan "intervensi" tehadap badan lain. Keberadaan hak menguji materiil adalah koreksi terhadap konsepsi "seperation of power," keberadaannya lebih relevan dengan konsepsi "chek and balances," yaitu agar suatu badan tidak melewati kewenangannya.

II. HAK MENGUJI MATERIIL DI INDONESIA

Pengaturan hak menguji materiil di Indonesia baru dimulai dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (yang beberapa ketentuannya telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), sebagaimana ditetapkan Pasal 26, yang kesimpulannya :
1. Hanya Mahkamah Agung yang diberi kewenangan untuk menguji materiil, badan-badan kekuasaan kehakiman lainnya tidak diberi wewenang untuk itu.
2. Putusan Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan hak menguji materiil tersebut berupa pernyataan tidak sah peraturan perundang-undangan yang diuji tersebut dan dengan alasan bahwa isi dari peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
3. Yang dapat diuji hanya bentuk hukum berupa peraturan perundang-undangan dan jenis yang dapat diuji adalah peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah UU atau Peraturan Pemerintah ke bawah.
4. Hak menguji materiil dapat dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
5. Peraturan yang telah dinyatakan tidak sah tersebut dicabut oleh instansi yang bersangkutan atau yang menetapkan.

Kemudian, apabila diteliti dengan seksama Penjelasan Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 199 tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa undang-undang pun dapat diuji secara materiil terhadap ketentuan UUD.
2. Pemberian kewenangan hak menguji materiil terhadap undang-undang hanya dapat diberikan oleh pembentuk UUD (MPR) oleh karenanya harus diatur dalam UUD atau Ketetapan MPR.
3. Hak menguji peraturan pelaksanaan undang-undang terhadap UUD sebagai fungsi pokok tidak diberikan kepada Mahkamah Agung. Dengan perkataan lain, menurut pembentuk UU No. 14 tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999) hanya dapat diuji terhadap undang-undang atau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak terhadap UUD. Jadi, UUD tidak dapat dipakai sebagai "batu uji".

Kemudian dengan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004 (yang menggantikan UUD No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999), mengenai kewenangan hak menguji materiil diatur dalam Pasal 11 ayat (2) b yang menyebutkan bahwa : "Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang."

Pasal 12 ayat (1) a UU No. 4 Tahun 2004 tersebut, diatur mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD RI Tahun 1945.

Hak menguji materiil pada Mahkamah Agung juga diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung, dalam Pasal 31, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak menguji materiil terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993, sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans "menimbang" yaitu dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan peradilan mengenai hak menguji materiil, agar penyelenggaraan peradilan mengenai hal itu dapat berjalan lancar.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Mahkmah Agung yang baru yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hak menguji materiil pada Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 31, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga) puluh hari kerja sejak putusan diucapkan.
Kini, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah membentuk lembaga baru dalam Amandemen UUD 1945 (Pasal 24 ayat (2) yis 24C dan 7B), yaitu Mahkamah Konstitusi. Pengaturan Mahkamah Konstitusi ternyata mengacaukan skema pengujian undang-undang (constitutional review).

Pasal 24 ayat (2) Amandemen UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi paralel dengan Mahkamah Agung yaitu dalam hal badan peradilan yang melakukan salah satu pelaku, salah satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman (seperti juga diatur dalam pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 1 jo. Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi). Tetapi dalam hal lainnya Mahkamah Konstitusi "mengatasi" Mahkamah Agung, bukan sejajar atau di bawahnya, karena Mahkamah Konstitusi berhak memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (Pasal 24C ayat (1) Amandemen UUD 1945 jo. Pasal 12 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004); sehingga membuka peluang bagi suatu lembaga negara guna menggugat putusan Mahkamah Agung dalam perkara judicial review.

Kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi mencakup 4 kategori : constitutional review, sengketa antarlembaga negara; impeachment process, serta perkara politik berupa sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai {Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003}; dimana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh {Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003}.

Dengan demikian kedudukan lembaga Mahkamah Konstitusi ini ternyata mengakibatkan kerancuan, sebab menurut Pasal 24 Amandemen UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berada sama dan sejajar dengan Mahkamah Agung. Namun, anehnya justru Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan lebih tinggi dari Mahkamah Agung, yakni judicial review atas UU; sedang wewenang Mahkamah Agung dalam judicial review hanya terhadap peraturan perundangan di bawah UU.

III. MAHKAMAH AGUNG DI AMERIKA SERIKAT

Peran Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan melakukan uji materiil terhadap UU, jelas mengadopsi dari praktek bernegara di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memiliki kedudukan tertinggi di bidang judicial atau supreme of court dapat melakukan uji materiil terhadap UU.
Akan tetapi, hak uji materiil yang ada pada Mahkamah Agung di Amerika Serikat tersebut tidak diatur dalam konstitusi, seperti yang termuat dalam article vi section 2 Konstitusi Amerika Serikat, yaitu5 :
"Konstitusi ini dan semua UU di Amerika Serikat harus dibuat untuk maksud dan tujuan yang telah ditentukan, dan semua perjanjian yang dibuat di bawah wewenang Amerika Serikat akan menjadi hukum yang tertinggi, dan para hakim di tiap-tiap negara bagian akan terikat dalam batas peraturan perundang-undangan negara bagian yang bersangkutan meskipun bertentangan."
Mahkamah Agung Amerika Serikat menempatkan diri dalam kedudukan sebagai badan yang melaksanakan judicial review pada tahun 1803, yaitu dalam kasus William Marbury vs. Madison. Untuk pertama kalinya Mahkamah Agung (John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung waktu itu) menyatakan bahwa Undang-undang Federal sebagai unconstitutional. Maka dengan adanya putusan tersebut, John Marshall telah menempatkan doktrin judicial review ke dalam sistem hukum formal Amerika Serikat. Sejak saat itu pula telah banyak Undang-undang Negara Bagian dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh Mahkamah Agung.6

Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah satu-satunya Pengadilan Federal yang dibentuk oleh UUD. Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak dapat dihapuskan, selain dengan mengubah UUD. Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah Pengadilan Tertinggi di seluruh Negara Amerika Serikat. Keputusannya tidak dapat diubah lagi.
Tidak ada pengadilan lain untuk menerima banding (appeal) keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sungguh-pun bukan Congress (=MPR) yang membentuk Mahkamah Agung Amertika Serikat, Congress berhak menetapkan UU tentang susunan dan tata bekerjanya Mahkamah Agung Amerika Serikat. Congress sewaktu-waktu menetapkan beberapa orang hakim menjadi anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan beberapa penghasilan masing-masing.
Para hakim dalam Mahkamah Agung Amerika Serikat membawa berbagai pengalaman dan pandangan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Mereka tidak hanya ditarik dari kalangan pengacara dan kalangan hakim/jaksa tetapi dalam beberapa peristiwa terkenal, juga dari kedudukan dalam pemerintahan. Besarnya Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memungkinkan semua anggota untuk berpartisipasi dalam semua tindakannya.7
Orang-orang yang dipilih Presiden untuk diangkat menjadi Hakim Agung menghendaki pengesahan Senate (=DPR). Dengan beberapa pembatasan, Congress dapat menetapkan perkara-perkara yang akan diperiksa oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Akan tetapi Congress tidak dapat mengubah kekuasaan yang diberikan kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat menurut UUD.
Suatu hal yang sangat khas dari Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah, bahwa setiap pendapatnya merupakan penjelasan terperinci dan bukan perintah (fiat). Banyak kesempatan diberikan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan pribadi, baik yang sepaham (dalam concurring opinions) maupun dari pandangan-pandangan yang tidak setuju merupakan suatu tantangan bagi kematangan politik masyarakat.

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tersebut mengandung penghargaan, atas nilai dari dialog-dialog yang telah diadakan dalam rangka mencari apa yang benar dan apa yang adil. Disamping itu, Mahkamah Agung Amerika Serikat selalu membuka diri untuk mempertimbangkan doktrin-doktrin kembali, dengan mendasarkan pada pelajaran dari pengalaman dan daya berpikir yang lebih baik.
Aspek paling berarti dari pekerjaan Mahkamah Agung Amerika Serikat, terletak justru dalam cara dan proses pemutusan ini. Dengan menghindari kemutlakan, menguji semboyan-semboyan umum terhadap kenyataan-kenyataan konkrit, memutus hanya dalam konteks kontroversi-kontroversi yang khas, menemukan akomodasi antara prinsip-prinsip yang berlawanan, membuka diri untuk mempertimbangkan ulang dogma-dogma; maka Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam keadaannya yang paling baik, memberikan suatu lambang kerukunan. Mungkin juga, gabungan aktif di antara idealisme dengan pragmatisme yang pada akhirnya merupakan sifat yang paling patut dihargai dari proses peradilan sebagaimana diselenggarakan di Mahkamah Agung Amerika Serikat.