Secerdas - Cerdasnya Kehidupan...



“Wahai anak cucu Adam, engkau hanyalah kumpulan dari hari yang terhitung. Apabila berlalu satu hari, berarti hilanglah sebagian daripadamu. Jika hilang sebagian daripadamu, maka bertambah dekatlah saat kematianmu. Jika engkau sudah mengetahui hal itu, maka segeralah berbuat".Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada dua nikmat di mana kebanyakan manusia sering tertipu dengannya, nikmat sehat dan masa lapang (senggang).” (H.R. Bukhari). Sabda tersebut menjelaskan, bahwasanya orang yang baik, banyak beramal saleh dalam hidupnya ialah mereka yang menghargai kesehatannya dan nikmat ketika diberi waktu senggang.

Banyak diantara kita yang tidak menghargai dua perkara itu. Sewaktu sehat, tidak mempedulikan penjagaan diri dan lupa pada suatu hari nanti akan sakit. Demikian juga ketika mempunyai banyak masa lapang. Lupa pentingnya masa itu, hingga banyak membuang-buang waktu untuk perkara tanpa manfaat. Hidup dan mati adalah ujian dari Allah. Dengan kehidupan dan kematian Allah melihat, siapa diantara hamba-hamba-Nya yang paling baik amalnya (Q.S. Al Mulk : 2). Di sinilah letak betapa pentingnya masa dalam kehidupan seorang hamba. Di atas waktu kebaikan dan keburukan disemaikan. Prestasi dan kegagalan dikukuhkan. Semakin hari amal perbuatan kita semakin bertambah, bukan menjadi sebaliknya.

Orang yang rugi ialah mereka yang tidak pandai menghargai masanya hingga terbuang secara sia-sia, tanpa memberi pada dirinya atau orang lain. Allah berfirman : “Demi masa, sungguh manusia berada dalam keadaan kerugian, kecuali orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan dalam kesabaran.” ( Q.S. Al Ashr : 1-4). Pernyataan Allah itu menunjukkan betapa pentingnya masa, terutama apabila dikaitkan dengan kerugian. Untuk tidak jatuh pada kerugian, hendaknya kita memahami definisi kerugian yang sebenarnya.
Dalam hadist-nya, Rasulullah saw meriwayatkan : “Seseorang akan tergolong dalam golongan orang yang rugi, apabila hari ini sama saja dengan hari kemarin, tergolong dalam golongan celaka, apabila hari ini lebih buruk daripada hari kemarin dan tergolong dalam golongan beruntung, apabila hari ini lebih baik daripada hari sebelumnya."

Islam memandang masa sebagai harta paling utama dalam kehidupan manusia. Kehilangan masa sama artinya dengan kehilangan umur, kehilangan kesempatan. Seorang sufi terkemuka, Hasan al-Bashri berkata: “Wahai anak cucu Adam, engkau hanyalah kumpulan dari hari yang terhitung. Apabila berlalu satu hari, berarti hilanglah sebagian daripadamu. Jika hilang sebagian daripadamu, maka bertambah dekatlah saat kematianmu. Jika engkau sudah mengetahui hal itu, maka segeralah berbuat!"
Semoga kita bisa memahami hakikat masa atau waktu yang telah dikaruniakan kedalam kehidupan kita. Sehingga pergantian tahun baru Islam, dari 1426 H ke tahun 1427 H menjadi episode perbaikan dan kebangkitan. Waktu orang-orang yang saleh menjadi semakin saleh, dan waktu orang-orang ingkar menjadi orang-orang yang sadar. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI, POLITIK DAN EKONOMI MALUKU UTARA


Muhammad Syamsul
DPP KOMITE NASIONAL PEMUDA INDONESIA



Dalam upaya mencapai visi Pemerintahan Maluku Utara 2020, Meskipun memiliki beberapa kekuatan, misalnya SDA, Maluku Utara juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: masalah kemiskinan, SDM dan infrastruktur belum memadai. Permasalahan tersebut paling tidak dapat dikurangi dan diatasi apabila arah kebijakan pembangunan menerapkan dua aspek pembangunan sekaligus yaitu demokrasi politik dan ekonomi, dengan pendekatan manajemen strategis. Dengan demikian pembangunan akan menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, karena pelaksanaan pembangunan akan kontekstual dan efisien. Sejalan dengan penyelenggaraan Otonomi Daerah di era reformasi, berdasarkan kondisi, potensi dan kemampuan riil daerah. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Maluku Utara sekarang dapat dikatakan sedang giatnya melaksanakan kegiatan pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa kelemahan mendasar yang sangat mempengaruhi daerah Maluku Utara dibandingkan daerah lainnya antara lain: struktur ekonomi yang terlalu bertumpu pada pengusaha non pribumi, sehingga kurang merata dan mengakar ke bawah (trickle-down-effect); kualitas sumber daya manusia (SDM) Maluku Utara yang masih lemah dan kurang mendapat sentuhan yang berarti; dan Pengelolaan sumber daya alam yang keuntungannya belum dibagi secara proporsional bagi daerah Maluku Utara. Selanjutnya untuk mengatasinya maka diperlukan strategi dasar yaitu mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis pada penguatan usaha kecil, menengah dan koperasi; meningkatkan SDM untuk mampu bersaing dalam merebut setiap peluang di berbagai sektor kehidupan; dan diupayakan otonomi daerah yang lebih luas dan terus memperjuangkan pembagian keuntungan yang proporsional dalam pengelolaan setiap sumber daya alam yang dieksploitir di daerah Maluku Utara. Kesemuanya itu untuk menuju keadaan daerah Maluku Utara di era baru dan masa depan yang lebih baik. Dari hasil identifikasi saya, ada beberapa isu penting yang harus segera diatasi oleh kepemimpinan pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara dalam rangka mewujudkan Maluku Utara sebagai sebagai daerah maju di Indonesia Timur 2020 antara lain; 1. Penyelenggaraan pemerintahan yang kurang bersih, kinerja yang lemah, dan kurang keterbukaan. 2. Pengelolaan anggaran pembangunan yang tidak transparan dan sulit dipertanggung jawabkan kualitas dan kapabelitasnya. 3. Lembaga pengawasan yang lemah kinerjanya dan kurang dipercaya. 4. Birokrasi termasuk badan dan Dinas daerah yang masih membengkak dan tidak efisien. 5. Manajemen pembangunan yang masih amburadul atau tidak profesional. 6. Tumpang tindih dan saling bertentangannya masing-masing PERDA termasuk pruduk hukum yangh lebih tinggi. 7. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. 8. Rendahnya SDM dan disiplin pegawai pemerintah dan masyarakat dalam berusaha. 9. Tidak terpadunya pemerataan dengan pertumbuhan ekonomi. 10. Kurangnya bargening dengan Pemerintah Pusat dalam rangka otonomi khusus. 11. Kecilnya kontribusi sektor swasta besar kepada daerah. 12. Belum optimalnya pemanfaatan potensi alam dan potensi masyarakat. 13. Belum memadainya data dan infomasi sebagai dasar perumusan kebijakan dan implementasi program pembangunan (dalam penyusunan visi, misi, strategi, kebijakan, POLDA, Master Plan, PROPEDA; PROTADA dan lain-lain). 14. Pembangunan belum didasarkan karakteristik potensi alam dan potensi masyarakat yang dimiliki daerah sehingga belum jelasnya daerah-daerah mana sebagai basis pengembangan dan keunggulan kepetitif pada dibidang apa. 15. Kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa didominasi cara yang tradisonal dan sedikit penerapan ilmu dan teknologi artinya perlu pengembangan dan moderniasi. 16. Kurang membuka kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota dan antara daerah Kabupaten/Kota dengan daerah Kabupaten/Kota Provinsi lain dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana dan hubungan dagang. Hal ini turut kurang membukanya kerjasama dengan Negara Anggota AFEC, NAFTA, WTO, GAAT, MEE, khususnya dalam menarik minat investasi dan perdagangan. Jika diurut masih ada sederetan angka lagi yang mengidentifikasikan masih banyaknya persoalan yang harus diatasi pemimpin daerah Maluku Utara dalam rangka mewujudkan daerah berkembang di Indonesia Timur 2020 yang sama artinya dengan diatas pertumbuhan ekonomi Daerah tetangga Sulawesi Utara sebagai salah satu Provinsi dari beberapa Provinsi di Indonesia Timur paling cepat berkembang. Visi dan misi ini akan mendekati kenyataan apabila semua pihak: pemerintah daerah, swasta dan masyarakat memiliki komitmen dan dapat bekerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Terutama dalam kegiatan produksi dan distribusi dengan memanfaatkan potensi alam dan masyarakat secara optimal dan berkelanjutan. Tentunya apabila dapat mewujudkan dan mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis dari potensi yang dimiliki yaitu dimulai dari ukuran cm, m, km dan seterusnya dari luas lahan dan potensi kelautan dimanfaatkan pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat untuk kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, industri dan perdagangan secara profesional, ekonomis dan berteknologi tinggi. Perubahan Arah Kebijakan Pembangunan Maluku Utara dalam Rangka Mewujudkan pembangunan di Indonesia Timur. Perlu ada perubahan arah kebijakan pembangunan di Maluku Utara ke depan. Pertama, pembangunan demokrasi ekonomi bergandengan dengan demokrasi politik; Kedua, pembangunan ekonomi kerakyatan yaitu pemberdayaan koperasi, kemitraan usaha, anti monopoli, oligopoli dan kartel, pengaturan lahan pertanian, peningkatan permodalan, pengembangan teknologi, pengaturan distribusi dan pemasaran; Ketiga, pembangunan sumber daya manusia dan Keempat, penyelenggaraan otonomi dan perimbangan keuangan Pusat dengan Daerah. Pembangunan demokrasi politik terutama dalam hal prakarsa, daya kreasi dan hak-hak politik masyarakat daerah belum dapat terekspresikan dengan baik. Demikian pula dalam hal partisipasi individu dan masyarakat daerah dalam proses pengambilan keputusan. Keberadaan Pemerintah dengan kebijakan dan misinya tersediri telah membuat masyarakat daerah tidak ada pilihan kecuali hanya mengikut. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mencari penyesuaian antara keinginan arus bawah dengan keinginan pihak atas, tidak lain adalah dengan mengembangkan demokrasi politik. Upaya tersebut dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat dan sekaligus mengurangi campur tangan yang berlebihan dari Pemerintah Daerah dalam proses pembangunan. Disinilah arti pentingnya pembangunan demokrasi politik di daerah dimasa yang akan datang. Di Maluku Utara dalam hal pembangunan ekonomi kerakyatan belumlah dapat dikatakan berhasil.
Pembangunan perekonomian masyarakat di Maluku Utara telah menimbulkan dampak terjadinya kesenjangan sosial dan kesenjangan tingkat pendapatan yang cukup tinggi. Misalnya, Pemerintah Daerah lebih memprioritaskan pengusaha Non Pribumi sehingga Pengusaha Pribumi susah berkembang yang berakibat inkam daerah banyak yang dibawah untuk invesatasi diluar daerah yang juga berdampak melemahnya kondisi pasar lokal terutama investasi perbangkan. Sedangkan sebahagian besar masyarakat terutama yang tinggal di pedesaan pendapatan perkapitanya cukup kecil.

Tujuan Amerika Adalah melemahkan islam

Baru-baru ini http://worldpublicopinion.org/ melakukan survey terhadap muslim di 4 negara: Indonesia, Mesir, Pakistan dan Maroko dengan hasil yang mengejutkan, lebih dari 70 persen responden berpendapat bahwa tujuan politik Amerika adalah melemahkan dan memecah belah kesatuan umat islam! Survey ini merupakan ‘face-to-face survey’ yang dilakukan terhadap 1.000-1.200 orang di setiap negara dari bulan Desember-February.

Masih dari hasil survey yang sama, data menunjukkan bahwa 40% responden berpendapat bahwa tujuan utama dari politik Amerika adalah perang melawan terorisme dan hanya 12% responden yang percaya bahwa tujuan utama dari politik amerika adalah melindungi Amerika dari serangan teroris, ironis yak?

Steven Kull seorang editor dari Washington-based group mengatakan “Sementara pemimpin Amerika menggembor-gemborkan perang melawan terorisme, mayoritas dunia muslim dengan jelas menganggap Amerika sedang melancarkan perang terhadap Islam”.
Selain itu 30% responden menyetujui penyerangan terhadap tentara Amerika di Irak dan Afganistan serta 67% responden percaya bahwa islam menentang penyerangan terhadap warga sipil!

beberapa hasil menarik lainnya:
• Hasil survey menunjukkan ketidak yakinan bahwa kelompok al Qaeda bertanggung jawab terhadap penyerangan 11 September, bahkan 20 persen responden percaya bahwa pemerintah Amerika-lah yang menjadi dalang penyerangan terebut, bahkan?آ di Pakistan bahkan hanya 3 persen responden yang percaya Al Qaeda berada di balik penyerangan tersebut. Weleh!
• Lebih dari separuh responden percaya bahwa Amerika berusaha untuk melakukan kristenisasi di timur tengah dan 60 persen responden percaya tujuan lain Amerika adalah untuk menguasai sumber - sumber minyak di timur tengah.

Jelas dari hasil survey diatas, politik yang selama ini diterapkan oleh Amerika adalah untuk menyerang Islam, sudahkah kita sadar? (atau maukah kita sadar?)
Bagi sebagian besar umat muslim di Indonesia hasil diatas tidaklah terlalu mencengangkan, karena Alhamdullilah masih banyak ulama dan umat di negeri ini yang bisa memilah dengan jelas kebenaran dalam realita. Namun demikian jangan cepat bersenang diri karena:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, أ¢â‚¬إ“Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.أ¢â‚¬? Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al-Baqarah: 120)

Mendayung Diantara Dua Karang : Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme



Berbicara mengenai nasionalisme, menurut saya, gampang-gampang susah. Apalagi jika tema nasionalisme, yang ideologis itu, dikaitkan dengan pragmatisme, yang adalah salah satu aliran dalam filsafat. Tema nasionalisme tidaklah semata-mata berkaitan dengan soal kebanggaan, identitas, persatuan, atau kesetiaan akan suatu "nation" (bangsa). Nasionalisme juga bukan semata-mata garis imajinatif yang menjadi batas antara satu kelompok manusia dan kelompok lainnya, tapi ia juga merupakan cara pandang (world view) mengenai kebenaran sejarah, politik, dan budaya yang masuk dalam sikap serta tindakan setiap individu (Sulfikar Amir, 2005).

Disamping itu, sebagai ideologi, nasionalisme, sebagaimana ideologi lain seperti kapitalisme atau sosialisme, senantiasa masih berkembang. Adalah ideologi nasionalisme ini juga, yang pada akhir abad 20 lalu, telah menyebabkan dua perang dunia yang mengakibatkan hilangnya jutaan nyawa manusia serta kerugian sosial dan ekonomi yang luar biasa besarnya.

Sama dengan nasionalisme, pragmatisme, sebagai salah satu aliran filsafat yang banyak peminatnya, juga masih sedang berkembang. Menurut Wikipedia, aliran filsafat yang mengukur kebenaran suatu ide dari kegunaan praktis-yang-dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, telah menghasilkan pengikut yang digolongkan sebagai penganut pragmatis klasik, neoklasik, neopragmatis, dan legal pragmatis.

Nasionalisme

Sebagai sebuah konsep sosial, nasionalisme bukan benda yang turun begitu saja dari langit. Ia lahir dari kebudayaan Eropa era Pencerahan ketika rezim-rezim patrimonialisme runtuh dan digantikan sistem kekuasaan publik yang egaliterian. Dalam perkembangannya, gagasan nasionalisme mengalir ke masyarakat kolonial dan menjadi pemicu gerakan antikolonialisme bangsa Eropa. Indonesia tidak lepas dari aliran sejarah itu (Sulfikar Amir, 2005).

Gagasan nasionalisme Indonesia sendiri, menurut hasil penulusuran Sulfikar Amir (2004), berasal dari dua sumber. Pertama, gerakan kaum Islam modernis yang diilhami gerakan Pan-Islamisme yang meluas di Timur Tengah pada abad ke-18. Sumber kedua adalah kaum elite terdidik yang terbentuk melalui Kebijakan Etis pemerintah Belanda. Walaupun dididik untuk kepentingan ekonomi dan birokrasi pemerintah Hindia Belanda, belakangan para elite terdidik tersebut menjadi pelopor gagasan suatu bangsa berdaulat yang bernama Indonesia.

Sejak Budi Utomo berdiri tahun 1908, dan kemudian semakin mengental dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, telah tertempa perasaan sebagai satu bangsa (nation) dan merasuk ke dalam pikiran berbagai kelompok etnis yang menghuni Nusantara. Rakyat penghuni Nusantara yang bekas Hindia Belanda menanamkan kesadaran dalam pikiran mereka bahwa mereka adalah satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu tanah air, tanah air Indonesia, seperti yang mereka ucapkan dalam sumpah mereka pada tahun 1928 itu.

Rakyat Indonesia, seperti juga Amerika Serikat, adalah masyarakat yang amat pluralistik, baik dari segi etnisitas, bahasa ibu, maupun adat budayanya. Akan tetapi, berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang sebagian besar (kecuali native American atau Indian) adalah pendatang yang dengan kemauan sendiri mendatangi benua tersebut, suku-suku bangsa di Indonesia adalah penduduk pribumi yang sudah beribu tahun menghuni wilayah tertentu dalam negara yang kemudian menjadi Republik Indonesia (Kartono Muhammad, 2003).

Perasaan menjadi pemilik sah dari suatu wilayah lebih kental di antara kelompok etnis Indonesia dibandingkan dengan dengan rakyat Amerika Serikat. Maka, sungguh merupakan keberhasilan yang sangat besar dari para pendiri negara ini untuk dapat membuat mereka kini merasa bahwa
tanah air mereka adalah Indonesia, bukan hanya Jawa, Bali, Sulawesi, Irian, dan sebagainya. Pembentukan rasa nasionalisme Indonesia tertentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan Norwegia yang negaranya berupa satu daratan tanpa terpisah-pisahkan oleh lautan (Kartono
Muhammad, 2003).

Melalui pengamatan dan penelitian pada masyarakat paskakolonial di Asia dan Afrika, lebih khusus lagi Indonesia, Benedict Anderson lantas mengajukan konsep nasionalisme sebagai "imagined communities". Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa Eropa (Sulfikar Amir, 2004).

Jadi, suatu bangsa pada dasarnya ialah suatu komunitas sosial politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas, sekaligus berkedaulatan. Pada komunitas itu masing-masing anggotanya belum tentu saling mengenal satu sama lain, tetapi di benak setiap anggotanya hidup bayangan tentang kebersamaan dan persaudaraan. Melalui konsep "imagined communities" dapat kita identifikasi beberapa unsur terbentuknya nasionalisme, yaitu adanya kesamaan perasaan senasib, kedekatan fisik/nonfisik, terancam dari musuh yang sama, dan tujuan bersama. Berbekal semangat itulah, nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme digunakan sebagai amunisi bersama dalam menentang hegemoni kolonialisme (Bawono Kumoro, 2006).

Pragmatisme

Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani "pragma" yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Jadi, pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil (Muhammad Shiddiq al-Jawi, 2004).

Pragmatisme, setelah lahir di tanah Amerika, tersebar luas bersamaan dengan menyebarnya ideologi kapitalisme ke seluruh pelosok dunia. Munculnya pragmatisme, menurut almarhum Kuntowijoyo (2004), dimaksudkan supaya kemanusiaan dapat menghadapi masalah besar, yaitu
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pragmatisme sering dikritik sebagai filsafat yang mendukung bisnis dan politik Amerika.

Menurut Kontowijoyo, dalam epistemologi pragmatisme, individualisme dan materialisme ekonomi tumbuh subur. Unsur kesadaran tak terdapat di dalamnya. Sekalipun William James, salah satu tokoh pertama dan utama dari pragmatisme, menulis "Varieties of Religious Experiences", tidak berarti bahwa dia mendukung kesadaran beragama. Selama pengalaman keagamaan itu berguna bagi yang bersangkutan, maka ia benar. Dengan demikian, pragmatisme adalah relativisme. Tidak ada kebenaran abadi dan mutlak, segalanya tergantung pada apakah "kebenaran" itu berguna atau tidak (Kuntowijoyo, 2004).

Dalam dunia politik di Indonesia, masih mengutip Kuntowijoyo (2004), Orde Baru dikatakan menganut pragmatisme. Rezim itu tidak peduli dengan nilai. Apa saja dikerjakan oleh rezim itu asal menguntungkan sebuah „power politics". Pragmatisme dalam bisnis juga melahirkan kroni dan para konglomerat yang tak peduli dengan Indonesia. Mereka mengisap Indonesia dan membawa hartanya keluar. Nucuk angiberake (mencari makan di sini, membawa keluar). Orde Baru membelanya dengan menyebut mereka justru penganut "nasionalisme baru".

Pemuda antara Nasionalisme dan Pragmatisme
Melalui sedikit uraian teoritis di atas, saya ingin melangkah menuju tema dari diskusi ini, yakni Semangat Pemuda Menjawab Permasalahan Bangsa, terlebih dalam kaitannya dengan nasionalisme dan pragmatisme. Apakah nasionalisme itu selalu berhadapan dengan pragmatisme ? Dikaitkan dengan kedudukan kita sebagai pemuda yang sedang menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, di Jerman khususnya, dan pilihan-pilihan yang tersedia setelah usainya masa studi, apakah misalnya, seorang yang setelah selesai studinya dan kemudian memutuskan untuk tidak segera kembali ke tanah air adalah pragmatis, dan dengan itu, otomatis, tidak nasonalis?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya ingin meninjau lagi ke uraian mengenai nasionalisme dan pragmatisme. Sependek yang bisa saya temukan dan saya baca, ternyata sikap nasionalis tidak selalu tidak bisa bersatu dengan pragmatis. Rezim orde baru adalah contoh sempurna atas berjalin dan berkelindannya antara nasionalisme dan pragmatisme itu. Selain menganut paham pragmatisme, sebagaimana kutipan dari Kuntowijoyo diatas, rezim orde baru juga telah memonopoli tafsir atas apa yang (boleh) dinamakan nasionalisme. Nasionalisme, yang
sebelumnya bersifat publik dan dimiliki oleh setiap (anggota) masyarakat atau suku bangsa, telah dibajak dan ditundukkan dibawah kaki penguasa. Akibatnya, tercipta sebuah relasi hegemonik antara negara dan masyarakat. Sejak itu, wacana nasionalisme menjadi wilayah eksklusif institusi negara (Sulfikar Amir, 2005).

Pada dasarnya, sambil masih mengutip Sulfikar Amir (2005), nasionalisme dapat dibangun oleh tiga elemen dasar. Pertama, kedaulatan (sovereignty) yang menjadi motivasi sebuah bangsa untuk tidak dijajah dan dipengaruhi bangsa lain. Kedua, persatuan (integrity) yang menjadikan sebuah bangsa tetap utuh sebagai sebuah entiti politik yang memiliki cara pandang yang sama. Dan, ketiga, identitas (identity) yang terbentuk dalam simbol-simbol yang menjadikan sebuah bangsa unik daripada yang lain.

Dominasi negara dalam ketiga elemen nasionalisme menghasilkan seperangkat distorsi yang hanya memperkuat hegemoni negara terhadap masyarakat. Elemen kedaulatan yang semestinya menjadi pendorong institusi negara untuk melindungi warga negara dari ancaman luar dimanipulasi untuk membenarkan tindakan-tindakan negara terhadap masyarakat. Pada saat yang sama, retorika persatuan dijadikan alasan untuk mengambil hak-hak regional dan mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan pusat kekuasaan di Jakarta. Yang tidak kurang parah, identitas kebangsaan diinterpretasikan secara sempit. Sehingga, yang muncul adalah penyeragaman yang melanggar prinsip-prinsip multikultural. (Sulfikar Amir, 2005).

Lantas, apakah yang bisa kita lakukan sebagai bagian (kecil) dari, kalau boleh dikatakan, masyarakat terdidik Indonesia? Saya akan kembali mengutip dari Sulfikar Amir (2005). Agar nasionalisme terhindar dari kooptasi dan hegemoni makna oleh negara, maka kita perlu melakukan dekonstruksi atas tiga elemen nasionalisme. Pertama, kedaulatan tidak lagi dimaknai semata-mata sebagai upaya perlindungan dari ancaman luar, tapi juga merupakan jaminan kedaulatan masyarakat dari tindakan-tindakan represif negara. Kedua, persatuan tidak lahir dari interpretasi negara tentang keutuhan bangsa, tapi merupakan sebuah kondisi yang muncul dari keinginan warga negara untuk menjadi bagian bangsa Indonesia. Dan ketiga, identitas yang ada bukanlah penyeragaman, tapi terbentuk melalui keberagaman yang muncul secara ekspresif dari masyarakat.

Nah, setelah melalui uraian dalam paragraf-paragraf di atas, saya kembali ke pertanyaan tentang sikap yang mungkin diambil oleh seseorang yang memilih tidak kembali ke tanah air setelah selesainya masa studi di luar negeri. Bagi saya, belajar dari kisah sejumlah negara semisal India dan China, yang ternyata saat ini banyak diuntungkan atas tersebarnya tenaga terdidik mereka di berbagai penjuru dunia, maka amat sangat terburu-buru jika dikatakan bahwa orang yang memilih untuk lebih dulu berkarir di luar negeri itu dikatakan sebagai tidak nasionalis.

Menurut saya, ada berbagai alasan yang bisa dikemukakan untuk mendukung langkah itu, diantaranya adalah kondisi lapangan kerja di tanah air dan peluang bekerja "secara baik dan benar" yang belum tentu tersedia. Sangat boleh jadi, setelah mereka mempertimbangkan berbagai hal, pilihan untuk tidak kembali ke tanah air bukanlah pilihan pertama dan utama. Mungkin saja mereka sesungguhnya ingin segera kembali, namun, setelah menganalisis, mereka sampai pada kesimpulan, bahwa mereka tidak mungkin tetap bisa bertahan dengan idealismenya jika mereka bekerja di tanah air. Daripada mereka ikut-ikutan terperosok dan ikut berbuat yang tidak-tidak, akhirnya mereka memilih sikap untuk "wait and see" sambil berkarir di negeri seberang.

Saya, dengan demikian, tidak akan mengatakan mereka sebagai kaum pragmatis, ataupun tidak punya rasa nasionalisme. Kalau pun ada yang ingin saya usulkan pada orang-orang yang memilih sikap seperti itu, hendaklah mereka mempunyai batas waktu, sampai kapan mereka akan tetap
berkarya di negeri orang. Dari berbagai interaksi saya dengan orang yang memilih bekerja di luar negeri, seingat saya, mereka semua tetap masih memendam keinginan untuk, pada suatu saat, pulang dan berkarya di tanah air. Meminjam sebuah peribahasa, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, walau bagaimanapun kelebihan di negara orang, tetap negeri sendiri lebih baik lagi. Syukur-syukur, mereka yang memilih berkarir di luar negeri ini, misalnya bekerja di suatu industri, dapat menjadikan tempat kerjanya sebagai sarana praktikum mahasiswa dari suatu Universitas di Indonesia. Atau, jika mereka berkarir di suatu lembaga penelitian, maka mereka dapat mengusahakan agar ada suatu posisi bagi peneliti asal Indonesia, atau institusi penelitiannya bisa menjalin kerjasama dengan institusi sejenis di Indonesia. Hal yang terakhir ini, seingat saya, banyak dilakukan oleh para ilmuwan India dan China.

Tentu saja, apa yang saya tuliskan diatas dengan segera bisa diperdebatkan. Namun, bagi saya, saya tidak ingin menjadi hakim bagi pilihan hidup dan masa depan seseorang. Daya tahan dan semangat dalam memperjuangkan apa yang disebut sebagai idealisme, apapun definisi orang akan hal itu, tidaklah sama dan sebangun pada semua orang. Kita, dalam mengambil keputusan akan suatu hal, masing-masing mempunyai kondisi dan pertimbangan internal dan eksternal yang tidak sama. Dus, bagi saya, untuk hal-hal yang seperti itu, saya tidak akan menggunakan
ukuran yang saya punya untuk menilai sikap dan tindakan orang lain.

Akhirnya, saya ingin menutup uraian saya ini dengan mengutip artikel yang ditulis Kurniawan (1996), yang ketika ia menulis artikel itu, masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Ia menulis, "nasionalisme kita bukanlah nasionalisme sempit yang membela bangsa apapun alasannya."Right or wrong is my country" adalah sentimen berlebihan atas bangsa yang dapat berbuah rasialisme dan memperkosa kemanusiaan dan kebenaran. Nasionalisme kita tidak sekedar mengabdi pada sebentuk negara politis semata-mata, tapi lebih pada bangsanya,
nasib warga di dalamnya. Dengan demikian kemanusiaan adalah panutannya, dan ke-Tuhanan adalah dasarnya. Nasionalisme tidak mati, dia hidup di hati rakyat Indonesia, termasuk pemudanya. Ada baiknya kita simak pernyataan "Sumpah mahasiswa" di era 1980-an ini yang mengaku:

Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan - Berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan.
Berbahasa satu, bahasa kebenaran."

DAS SULTANAT TIDORE AUF DEN MOLUKKEN



Uber das Sultanat Tidore existieren deutlich weniger Aufzeichnungen als über das benachbarte Ternate. Neben Ternate war es von schon seit seiner frühen Geschichte eines der mächtigsten Königreiche auf den Molukken und beherrschte bis zum Anfang des 17. Jahrhunderts Makian, einen großen Teil der Insel Halmahera und Teile des Westküste von Neu-Guinea. Jedoch verlor es in den folgenden Jahren viele Gebiete an das Nachbarreich Ternate, welches von den Holländischen Kolonialherren kontrolliert wurde, die später Ihre Macht auch auf Tidore ausweiteten.

Doch schon in früheren Zeit lockte der ertragreiche Anbau von Gewürzen, insbesondere von Nelken, erste Europäische Händler und später Kolonialherren nach Tidore. Im Jahre 1521 trafen die ersten Spanier auf Tidore ein und handelten einen Vertrag über das Monopol auf den Gewürzhandel aus, während das benachbarte Ternate Verträge mit Portugiesischen Händlern schließt. In der Folge kommt es zu ständigen Konflikten zwischen Portugal und Spanien, welche natürlich auch Konflikte zwischen Ternate und Tidore bedeuten.

Ein erwähnenswertes Ereignis auf dem Jahre 1522 ist die Ankunft der Magellan-Expedition, die nach dem Tode Ferdinand Magellans unter seinem Nachfolger Juan Sebastián Elcano auf Tidore eintraf und welcher dort Hilfe gewährt wurde. Im Jahre 1574 wurden die Portugiesen nach dem Mord an einem Sultan auf Ternate durch die aufgebrachten Einwohner vertrieben und zogen sich in Teile von Tidore zurück. Tidore billigte und wünschte 1578 sogar die Ankunft der Portugiesen, da Ihnen Ihr Nachbarreich Ternate zu mächtig geworden war.

Doch schon 1605 waren die Portugiesen, nach einem Angriff durch die Niederlande unter Vize-General Cornelis Bastiaensz gezwungen sich ganz aus der Region zurückzuziehen. Auch Ternate hatte diesen Angriff unterstützt. Allerdings konnte auch Holland seine Stellung, aufgrund der niedrigen Truppenstärke nur bis 1606 halten. Danach standen die Inseln Tidore und Ternate unter spanischer Kontrolle. In der Folge wurde Tidore zum Zentrum der spanischen Kolonialherren auf den Molukken. Während Spaniern gezwungen war sich 1663 durch den Vormarsch der Holländer aus Ternate zurückzuziehen, hielt Tidore seine Verbindung zu Spanien aufrecht, jedoch nahm der Druck durch die Holländer zu.

So war Tidore 1667 gezwungen einem Friedensvertrag mit Ternate zuzustimmen und verlor in der Folge viele Gebiete an das konkurrierende Ternate., so zum Beispiel 1608 die Insel Makian.
In diesem Jahr wurde auch ein erster schriftlicher Vertrag über den Handel mit Gewürzen aus Tidore mit Holland geschlossen, zuvor hatte der seit 1657 regierende Sultan Saifudin einen mündlichen Vertrag mit dem holländischen Gouverneur Simon Cos geschlossen.
1728 wurde durch Holland ein neuer Vertrag zwischen Ternate und Tidore ausgehandelt. Hierbei wurde Holland ermächtigt eine Festung im Distrikt Patani zu errichten, welcher darauf unter Herrschaft von Tidore fiel.

Im Jahr 1748 unternahm Holland weitere Anstrengungen einen Ausgleich zwischen Ternate und Tidore zu fördern, um somit beide Inseln besser kontrollieren zu können und Ihre Handelsmonopol ausweiten zu können, jedoch blieb Tidore noch lange Zeit relativ unabhängig. Erst 1779 wurde Tidore zu einem Vasallen Hollands und fiel vollständig unter die Kontrolle der VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Unter dem ab 1756 regierenden Sultan Jamaludin gab Tidore im Jahre 1768 alle Ansprüche auf die Inseln Ceram und deren umliegende Inseln auf. Auch diese Entscheidung führte zu der späteren Auflehnung des Prinzen Nuku gegen den Nachfolger Sultan Jamaludins und die Holländischen Kolonialherren.

Prinz Nuku hatte sicherlich einen aufgezeichneten politischen Verstand, nur so war es ihm möglich seinen Widerstand gegen die holländischen Kolonialherren 15 Jahre aufrecht zu erhalten
Es gelang ihm sogar Sultan von Tidore und als solcher, durch die während der napoleonischen Kriege herrschenden Engländer, anerkannt zu werden.
Nachdem sein Vater und seine Brüder 1780 verbannt worden waren begann er sich an die Spitze der gegen die VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) revoltierenden Adligen von Tidore zu setzen.

Er zahlreiche Gruppen in seinem Kampf aus dem Einflussbereich Tidores, wie den aus Papua stammenden und auf Halmahera lebenden Gamrange-Kämpfern aber auch aus dem Zentrum von Tidore konnte er die Unterstützung zahlreicher Würdenträger erreichen.
Prinz Nuku attackierte nicht nur die VOC, sondern auch ihren Verbündeten, den herrschenden Sultan von Tidore.

Während der Herrschaft von Sultan Sultan Patra Alam (1780 - 1784) konnte Nuku seine Macht ständig ausbauen und erst der Nachfolger Patra Alams, Sultan Kamaludin (1784 – 1797) brachte ihn erstmals in Bedrängnis, aus der er sich jedoch befreien konnte.

Dies war wohl nicht zuletzt auch dadurch bedingt, dass der Premierminister (= Jogugu) von Tidore ihn über alle wichtigen militärischen, wie politischen Entscheidungen von Sultan Kamaludin heimlich informierte.

1796 verband sich Nuku zudem mit den eintreffenden und erstarkten Engländern, welche die holländische Stellung auf den Molukken durch die Einnahme von Ambon und Banda stark geschwächt hatten.
Als seine Flotte im selben Jahr an der Küste von Tidore landete wurde kaum Widerstand gegen seine Machtübernahme geleistet. Der herrschenden Sultan Kamaludin floh in das von Holland kontrollierte Nachbarreich Ternate.

Nach seiner erfolgreichen Übernahme von Tidore beabsichtige Nuku die Holländer ebenfalls von Ternate zu vertreiben und beider Reiche somit zu vereinen. Unterstützt wurde er hierbei von einem Prinzen aus Ternate (Prinz Ibrahim). Er versuchte sogar den regierenden Sultan von Ternate auf seine Seite zu ziehen, was allerdings nicht gelang.

Dennoch gelang es ihm Ternate unter seine Kontrolle zu bringen und die Holländer zu vertreiben, da er auch Ihre wichtigste Festung „Fort Oranje“ einnehmen konnte.
Er erhoffte sich, dass nun ein starkes Tidore als Ausgangspunkt für ein unabhängiges Molukken-Reich dienen könnte, welches sich von allen Eindringlingen befreien würde, jedoch sollte diese Hoffnung enttäuscht werden.

1801 erkannten ihn die englischen Residenten als neuen Sultan von Tidore an. Von diesem Zeitpunkt an führte er den Namen Sultan Mohamadanil Mabusi.
Der Vertrag von Amiens vom Jahr 1802 annullierte alle Verträge, die zwischen Nuku und den englischen Residenten geschlossen worden waren und gaben die Macht an Holland zurück.
Er setzte sich jedoch bis zu seinem Tod weiter für die Unabhängigkeit der Region ein. Sein Nachfolger jedoch, Zainal Abidin, war ein schwacher Herrscher, der nichts vom politischen Gespür seinen Vorgängers besaß.

Im Jahre 1806 wurde Tidore von den Holländern erobert, der zuletzt regierende Sultan Mohamad Jainalabidin (1805 – 1806) floh vor den vorrückenden Truppen Hollands.
Tidore spätestens 1817 vollkommen unter der Kontrolle Hollands. Es wurden Verträge ausgehandelt, welche den Handel mit Gewürzen festlegten, jedoch verlor der Export von Gewürzen zunehmend an Bedeutung.
Schon 1833 gaben viele Einheimische den Anbau von Gewürzen auf, da dieser nicht mehr ertragreich genug war.

Auch stellte Tidore Hilfstruppen für die Holländer. So wurden zum Beispiel 1828 Hilfstruppen Truppen nach Java und 1840 nach Ceram entsandt um Aufstände niederzuschlagen.
Das moderne Tidore war wie auch Ternate und andere Gebiete auf den Molukken von religiösen Konflikten geprägt. Lesen Sie hierzu den Abschnitt unter: Das Sultanat Ternate - Das heutige Ternate und die Konflikte auf den Molukken.

Die ersten Bekannten Herrscher im Königreich Tidore

Sah Jati
Busamuangi
Suhu
Balibungah
Duku Madoya
Kie Matiti
Sele
Matagena

Sultane von Tidore

Sultan Ciliati (1495 - 1512) - Er soll nach der Einführung des Islams durch Sekh Mansur den Namen "Jamaludin" angenommen haben.
Sultan Mansur (1512 - 1529)
Sultan Amirudin Iskandar Dalkarnin (1529 - 1547)
Sultan Kie Mansur (1547 - 1569)
Sultan Iskandar Sani (1569 - 1586) auch Tadu Iskandar Sani Amiril Madlemi
Sultan Gapi Maguna (1586 - 1599) - auch Gapi Baguna Sirajul Arafin
Sultan Mole Majimu (1599 - 1626) - auch Molamo Jimo Jumaldin
Sultan Ngora Malamo (1626 - 1633)
Sultan Kaicil Gorontalo (1633 - 1653)
Sultan Magiau (1653 - 1657) - auch Saidi, Shidi oder Saidi´s
Sultan Saifudin (1657 - 1689) - erster Sultan mit dem Namen Saifudin - sein voriger Name als Prinz lautete Kaicil Golofino
Sultan Faharudin (1689 - 1700) - auch Asam Hamja Fahruldin oder Hamja Vaharudin
Sultan Abul Falalal Mansur (1700 - 1708)
Sultan Hasanudin (1708 - 1728)
Sultan Amir Bifallilajij (1728 - 1756) - auch Amir Mohidin oder Mira Bisalalihi
Sultan Jamaludin (1756? 1757? - 1780)
Sultan Patra Alam (1780 - 1784)
Sultan Kamaludin (1784 - 1797)
Sultan Mohamadanil Mabusi (1797 - 1805) - Prinzentitel vor dem Sultanstitel war Prinz Nuku
Sultan Mohamad Jainalabidin (1805 - 1810)
Sultan Mohamad Tahir (1810 - 1822)
Sultan Akhmadul Mansur (1822 - 1857)
Sultan Akhmad Safiudin (1857 - 1865)
Sultan Johar Alam (1867 - ? ) - auch bekannt unter Sultan Akhmad

" SOSOK JOOU BARAKATI " SULTAN NUKU "


" SULTAN NUKU (JOOU BARAKATI) " SAEDUL JIHAD MUHAMMAD EL MAB'US AMIRUDIN SYAH KAICIL PAPARANGAN


Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757 – 1779) dari kerajaan Tidore. Pada tanggal 13 April 1779, dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan SAEDUL JIHAD MUHAMMAD EL MAB'US AMIRUDIN SYAH KAICIL PAPARANGAN. Nuku juga dijuluki sebagai “Jou Barakati” yang artinya Sultan yang Jujur,Amanah, Bijaksana,kokoh dalam prinsip kebenaran, Selalu melawan Kejaliman. Dalam zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan tanah air dan membela kebenaran, menghancurkan kebatilan

Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing. Untuk itu Nuku berjuang tanpa mengenal istirahat sampai di hari tuanya.

Pemerintah Kolonial Belanda dengan gubernur-gubernurnya yang ada selalu berhadapan dengan “Prince Rebel” (raja pemberontak) ini yang terus mengganjal kekuasaan Kompeni (Belanda) tanpa kompromi. Mereka semua tidak mampu menghadapi konfrontasi Nuku. Nuku merupakan musuh bebuyutan yang tidak bisa ditaklukan, bahkan tidak pernah mundur selangkahpun saat bertempur melwan Belanda di darat maupun di laut.

Ia adalah seorang pejuang yang tidak dapat diajak kompromi. Semangat dan perjuangannya tidak pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap kuat dan semangat tetap berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805. Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa dan pengorbanannya, Pemerintah Republik Indonesia mengukuhkan Sultan Nuku sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN”