AKANKAH MOLOKO KIE RAHA MENGEMBALIKAN KEJAYAAN NYA ?.....,.

Berabad-abad lamanya orang Eropa tidak mampu memecahkan misteri asal- usul rempah-rempah. proses pencarian Kepulauan Rempah-rempah yang melelahkan, penuh perjuangan, serta berlumur darah telah menjadikan rempah-rempah sebagai salah satu penentu sejarah dunia. Pada masa Sebelum Masehi, orang-orang Eropa telah mengenal rempah- rempah. Sekitar 3.000 tahun Sebelum Masehi, penduduk Eropa diperkirakan telah menggunakan rempah-rempah meski mereka belum mengetahui asal-usulnya. Sejarawan Yunani, Herodotus, pada abad V Sebelum Masehi mencatat keingintahuan orang Barat mengenai asal-usul rempah-rempah mulai muncul. Akan tetapi, orang Arab yang menjadi pedagang perantara rempah-rempah di Eropa tetap menyembunyikan asal-usul rempah-rempah itu.
Di dalam catatan I Tsing, pengelana asal China yang membuat catatan pada tahun 671-695 dalam sebuah buku yang oleh penerbit di Inggris diterbitkan dengan judul A Record of The Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago, juga menyebut rempah-rempah sebagai komoditas Penting di dalam perdagangan saat itu. Kemudian Marco Polo, Orang Eropa tetap penasaran mengenai asal-usul rempah-rempah itu. hingga akhirnya Marco Polo pada abad ke-13 melakukan perjalanan ke Timur melalui darat hingga ke China dan kembali ke Italia melalui jalur laut dan darat. Dalam perjalanan nya Marcopolo Membenarkan bahwa Ternyata Rempah-rempah itu dia temukan di sebuah Pulau yang di beri Nama Oleh Bangsa Tiongkok sejak abad 8 SM “Makian” (Daerah Penghasil Rempah).
Laporan Marcopolo yang menjangkau Asia pada awal abad ke- 13, Nicolo de Conti (1395-1469), diperkirakan sebagai pendorong bagi penguasa Portugis memulai ekspedisi ke Kepulauan Rempah-rempah. Laporan itu meyakinkan penguasa Portugis bahwa kepulauan itu bisa dicapai melalui jalur laut.
Portugis kemudian membuat ekspedisi yang secara serius melacak asal- usul rempah-rempah dengan menyusuri pantai selatan Eropa, kemudian Afrika hingga memasuki Nusantara. Penemuan tempat itu makin mendapati kenyataan dan Portugis menguasai Pelabuhan Malaka pada tahun 1511 sebagai Jalur perdagangan Bandar Sutra. Di sisi lain, Spanyol yang tidak mau kalah dengan Portugis mencari jalur rempah-rempah melalui jalur laut hingga akhirnya menemukan di Ternate yang mana menurut Marcopolo bahwa Bibit Cengkeh yang ada di ternate itu berasal dari Makian . Petualangan yang paling spektakuler adalah perjalanan lima kapal Ferdinand Magellan (1480-1521) yang dimulai dari Pelabuhan Sevila, Spanyol, pada tahun 1519.
Salah satu catatan yang penting adalah globalisasi pertama mengutip pendapat penulis The World is Flat, Thomas L Friedman terjadi pada saat pencarian Kepulauan Rempah-rempah, yaitu ketika Columbus memastikan bahwa bumi itu bulat seperti yang sekarang kita kenal dengan globe.
Saat itu rempah-rempah menjadi bagian dari penentu sejarah dunia. Perkembangan berbagai ilmu, salah satu yang penting, yaitu ilmu geografi, juga terkait dalam proses pencarian rempah-rempah. Akankah Maluku Utara yang tidak lain adalah Kepulauan Rempah-rempah itu akan menjadi penentu sejarah berikutnya ? …………… Wallahu Alam Bissawab

Perumusan dan Penyusunan Pasal 30 Ayat (2) pada Bab XII Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara

"Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung."

(Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)

A. Umum

Sebelum jauh melangkah ada baiknya terlebih dahulu memahami mengenai pemahaman makna antara Undang-Undang Dasar dengan Konstitusi. Pada umumnya, konsep pengertian antara Undang-Undang Dasar (selanjutnya disingkat dengan istilah UUD) dan Konstitusi hampir diberikan pemahaman yang sama diantara para kalangan masyarakat umum. Namun tidaklah demikian menurut ilmu teori hukum ketatanegaraan. Berdasarkan kajian akademis, konstitusi adalah hukum dasar (droit constitusionel) yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.[2] Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tidak tertulis dan dapat pula yang tertulis. Konstitusi yang tertulis inilah yang dinamakan sebagai UUD. Karena itu, UUD sebagai konstitusi dalam pengertian sempit ini merupakan konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari.Memasuki tahap perumusan suatu UUD maka dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai beserta norma-norma dasar yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat, begitupun dalam praktek penyelenggaraan suatu negara / konvensi turut pula mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD. Dengan demikian, nuansa atau suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis, politis, historis serta sosiologis perumusan yuridis suatu UUD perlu diketahui dan dipahami secara seksama guna mendapati pengertian yang sebaik-baiknya mengenai ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD. Menurut pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH bahwa suatu UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.[3]Seiring perjalanan waktu dalam sejarah telah memberikan pula situasi dan kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran serta medan pengalaman suatu UUD dengan muatan yang berbeda-beda sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang dan melangkah maju dalam praktek di masa depan. Untuk itulah, penafsiran terhadap UUD pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, menurut Jimly Asshidiqie, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.[4] Oleh karena itu, dalam menyertai perumusan dan penyusunan suatu naskah UUD diperlukan pula adanya pokok-pokok pemikiran konseptual yang melandasi ataupun mendasari setiap perumusan baik pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam UUD serta keterkaitannya secara langsung maupun tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945. Hal demikian akan membawa kita pula dalam pemahaman atas konsepsi tentang negara (staatsidee) sebagai pelengkap norma dasar seperti yang dikemukan dalam pidatonya dimuka Dokuritsu Junbi Cosakai di Jakarta pada tahun 1945.[5]Sehubungan hal tersebut, dalam upaya memahami perumusan dan penyusunan suatu pasal UUD 1945, penulis hanya membatasi pada Pasal 30 ayat (2) seperti yang tercantum pada awal pembukaan penulisan ini. Penulis akan mencoba mengulas pasal tersebut secara eksploratif dari konteks perspektif yang telah dijelaskan diatas. Kemudian, pembahasan ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi kepentingan khalayak umum dan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami pasal tersebut.

B. Sejarah Perumusan UUD 1945

Bagi negara Republik Indonesia kini, Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar, yakni sebagai sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal-pasal yang terdapat pada batang tubuh UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Norma dasar ini dalam penjelasan UUD 1945 menyebutkannya sebagai “cita-cita hukum (rechtsidee)” yang terwujud dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.[6] Dengan demikian, pasal-pasal yang terkandung merupakan pencerminan perwujudan dari Pembukaan UUD dimaksud, begitu pula khususnya pada Pasal 30.

Dalam sejarah perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada akhir Mei 1945 di Jakarta, terdapat beberapa tokoh yang dikenal seperti Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo, dan Ir. Soekarno yang terlibat dalam proses perumusan dan penyusunan Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945.[7] Dalam prosesnya tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membentuk suatu UUD, diantaranya adalah:[8]

1. Bahwa UUD merupakan sebagian dari dari hukum dasar.
2. Bahwa terdapat pokok-pokok pikiran dalam "pembukaan."
3. Bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pasal-pasalnya.
4. Bahwa UUD bersifat singkat dan supel.

Ir. Soekarno, selaku ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat itu, menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan UUD yang bersifat sementara (UUD kilat/revolutie grondwet), sehingga dimungkin dapat segera dilakukan perubahan yang lebih lengkap dan sempurna setelah Indonesia dalam kondisi bernegara dan merdeka didalam suasana yang lebih tenteram.[9] Hal ini menunjukkan adanya keinginan dari Bapak Bangsa untuk melakukan kemerdekaan Indonesia secepatnya dengan landasan hukum yang kuat, yakni suatu konstitusi tertulis dalam bentuk UUD.Perumusan dan penyusunan pasal-pasal dalam UUD 1945, jika ditinjau dari suasana kebatinan dan kondisi pada masa sebelum kemerdekaan RI, akan terlihat bahwa proses pembuatannya dilaksanakan dalam keadaan yang segera dan tergesa-gesa, ditetapkan dalam waktu 1 hari, berstatus sementara, muatannya tidak lengkap dan sempurna, serta ditetapkan bukan oleh badan yang mewakili rakyat.[10] Hal ini dapat dilihat dalam bentuk dan isi dari batang tubuh UUD itu sendiri yang singkat dan jelas, dimana sebagai salah satu syarat utama terbentuknya suatu negara yang merdeka. Hal ini pun memungkinkan pula bahwa UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok maupun garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Hal tersebut diasumsikan bahwa khusus bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok saja, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah dan mencabutnya. Dampak dari hal diatas terpengaruh juga dalam proses perumusan dan penyusunan pasal-pasal keseluruhan dalam batang tubuh UUD 1945, terutama dalam Pasal 30 Bab XII tentang Pertahanan Negara. Pasal 30 ini pada awalnya tertulis sebagai berikut:[11](1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Karena demikian singkatnya, maka dalam Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia pun dijelaskan dengan kalimat "Telah Jelas."

C. Sejarah Perumusan UUD 1945 Hasil Amandemen.

Dalam perspektif teori hukum tata negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui dua pola, yakni Pola Belanda dan Pola Amerika Serikat.[12] Pola pertama adalah dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan, sedangkan pola kedua adalah dalam bentuk amandemen yang dilampirkan pada Konstistusi AS. Perubahan-perubahan tersebut mengandung maksud agar UUD merupakan UUD yang hidup (a living constitution).

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada lima periode UUD yang penah berlaku di Indonesia, antara lain:

1. Masa UUD 1945, berlaku antara 17 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949;
2. Masa Konstitusi RIS, berlaku antara 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;
3. Masa UUD Sementara 1950, berlaku anatara 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
4. Masa UUD 1945, berlaku kembali sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999.
5. Masa UUD1945 Perubahan I – IV, berlaku sejak 19 Oktober 1999 s/d sekarang.

Adapun perincian perubahan UUD 1945 hasil amandemen sebagai berikut:

- UUD 1945 Perubahan I, 19 Oktober 1999 s/d 18 Agustus 2000.

- UUD 1945 Perubahan II, 18 Agustus 2000 s/d 9 November 2001.

- UUD 1945 Perubahan III, 9 November 2001 s/d 10 Agustus 2002.

- UUD 1945 Perubahan IV, 10 Agustus 2002 s/d sekarang.



Dalam empat periode terakhir berlakunya macam-macam UUD diatas, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, sampai diubahnya UUD 1945 melalui proses amandemen.[13]

Pada proses amandemen UUD 1945 di akhir abad XX dalam era reformasi, MPR melalui Sidang Umumnya menetapkan Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 dengan mengubah beberapa pasal dalam UUD 1945.[14] Perancangan perubahan ini dilakukan dengan berlandasankan pada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang perubahan UUD. Perubahan Pertama tersebut kemudian dilanjutkan dengan Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga. Hal tersebut tampak jelas dalam penegasan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI Untuk Melanjutkan Perubahan UUD Negara RI 1945. Tap MPR ini memerintahkan agar BP-MPR mempersiapkan rancangan termaksud untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus 2000.[15]

Seperti yang diamanatkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 sebagaimana disebutkan diatas, maka pada Sidang Tahunan MPR pertama yang diselenggarakan pada tanggal 7 s/d 18 Agustus 2000 dilakukan Perubahan Kedua UUD 1945. Dalam Perubahan Kedua ini, para wakil rakyat tersebut melakukan perubahan terhadap pasal-pasal.[16] Pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 30 mengenai Pertahanan Negara, yang selanjutnya akan dibahas pada bagian berikutnya. Perubahan itu diantaranya dilakukan dengan mengubah rumusan pasal-pasal yang bersangkutan dan/atau dengan menambah beberapa ayat dari pasal yang bersangkutan.[17]

Sejak ditetapkannya Perubahan Pertama yang kemudian diikuti oleh Perubahan Kedua UUD 1945, di kalangan masyarakat sudah mulai timbul pandangan-pandangan kritis terhadap isi dari perubahan tersebut. Kritik tentang pertentangan antara isi pasal dengan penjelasan tersebut sebenarnya telah agak mereda setelah masyarakat menerima penjelasan bahwa MPR memang akan menghapuskan Penjelasan UUD 1945, dan akan mengambil butir-butir yang penting guna dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD 1945.[18]

D. Perumusan Pasal 30 UUD 1945 Hasil Amandemen II

Pasal 30 yang membahas masalah tentang Pertahanan Negara ini sebelum dilakukan perubahan hanya memiliki 2 (dua) ayat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal perumusan dan penyusunan pasal ini, kita dapat melihat dan meneliti dari maksud asli (original intend) ataupun pemahamannya pada saat rumusan pasal tersebut diperdebatkan pada Sidang Tahunan MPR 2000.

Hal tersebut dapat dilakukan penelitian secara historis pada Risalah Rapat Pleno ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Rapat ini diselenggarakan pada hari Selasa, 20 Juni 2000, pukul 10:00 s/d 11:46 WIB, dan bertempat di ruang GBHN dengan pokok acara: “Pembahasan tentang Rumusan Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan Negara.” Rapat Pleno ini dipimpin oleh Drs. H. Slamet Effendy Yusuf dan Drs. Ali Masykur Musa MSi selaku Sekretaris Rapat. Anggota yang hadir sebanyak 36 orang dan 9 orang tidak hadir.[19]

Berdasarkan jalannya rapat dalam risalah tersebut, acara dibuka oleh pimpinan rapat dengan 1 kali ketokan palu. Pimpinan kemudian memasuki pembahasan Pasal 30 tersebut. Menurutnya masalah “tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara” ini sempat dibicarakan ketika membicarakan mengenai hak asasi manusia dan mengenai hak warga negara. Untuk selanjutnya pimpinan mempersilahkan pembicara dari berbagai fraksi untuk mengemukakan usulnya. Adapun pembicara dari berbagai fraksi beserta usulan atau pembahasannya mengenai Pasal 30 UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. Drs. Anthonius Rahail (F-KKI)

F.KKI mengusulkan mengusulkan pasal 30 ini tetap dengan penekanan pada ayat (2). Disini dimaksudkan agar nanti didalam UU akan mengatur tentang fungsi dan peran militer dan kepolisian. Dua aspek yang ditekankan adalah: pertama, aspek dalam negeri adalah kepolisian yang dalam praktek menjaga keamanan dalam negeri. Kedua, keamanan negara ada pada militer yaitu luar negeri. Fungsi pertahanan adalah militer (AD, AL dan AU).

2. Sutjipto, SH (F-UG)

Fraksi ini mengusulkan Bab XII menjadi 3 bab, yaitu Bab I tentang Pembelaan Negara, Bab 2 tentang TNI, dan Bab II tentang Kepolisian Negara. Fraksi UG memandang perlu dipisahkan tugas mengenai TNI dan Kepolisian.

3. Hendy Tjaswasdi, SH, SE, MBA, CN, Mhum (F-TNI/POLRI)

Fraksi ini menganggap bahwa pasal ini masih relevan sehingga diusulkan tetap. Dalam pengertian pertahanan dan keamanan, ada yang membedakan secara tegas pertahanan adalah mengahdapi ancaman dari luar dan keamanan adalah didalam negeri. Walaupun TNI identik dengan AD yang melakukan pertahanan tetapi hal itu memungkinkan, karena AL dan AU juga melakukan keamanan, menegakan hukum dan kedaulatan negara di udara dan laut. Sehingga jika pertahanan untuk TNI (AD, AL, AU) maka tidak ada payung UU/konstitusi yang melindungi AU dan AL bertugas sehari-hari.

4. Asnawi Latief (F-PDU)

Mengusulkan ada penyempurnaan dan atau penambahan judul bab sehingga menjadi Pembelaan dan Pertahanan Negara, untuk memayungi AU dan AL dalam membela. Disamping itu, bab tersebut dipecah menjadi 3 bab dengan penambahan 2 bab tentang TNI dan Kepolisian Negara. Kemudian fraksi ini pun mengusulkan adanya Bab tersendiri mengenai Kepolisian yang didasarkan mempunyai multi tugas sebagai penyelidik, penyidik, pengamanan, penertiban dan pengayoman terhadap masyarakat.

5. Sutjipno (F-PDIP)

Fraksi ini menyampaikan visi/pandangan konseptual tentang konsepsi Pertahanan Negara dan Keamanan Negara secara mendetail. Fraksi PDIP mengusulkan Bab Pertahanan Negara menjadi 2 Bab, yakni Bab XIII mengatur Pertahanan Negara dengan inti kekuatan adalah TNI dan Bab XIV mengatur Keamanan Negara dengan inti kekuatan adalah Polisi Nasional Indonesia.

6. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa (F-PG)

Fraksi Golkar ini menyampaikan 4 pandangan, diantaranya substansi pertahanan negara erat kaitannya dengan substansi keamanan negara sehingga perlu adanya ketegasan dan pemisahan yang cukup tegas, penegasan TNI sebagai alat negara yang menjalankan kekuatan utama pertahanan negara, POLRI sebagai aparatur pemerintah yang bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban dalam negeri sekaligus aparat penegak hukum yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat berdasarkan hukum, adanya pembedaan fungsi dan kekuatan TNI & POLRI. Fraksi ini mengusulkan judul Bab dirubah menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Selain mengusulkan menjadi 3 Pasal, yang keseluruhannya terdiri 6 ayat, juga menyampaikan pasal yang mengatur hubungan interaksi ketika 2 institusi itu harus berhubungan dalam rangka melaksanakan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan.

7. Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP)

Fraksi ini mengajukan 4 ayat dalam bab ini. Dengan begitu tetap 1 bab namun disempurnakan pada judul bab menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Fraksi ini mengusulkan masalah pertahanan dan keamanan negara diatur dengan UU sehingga masalah struktur internal masing-masing instansi diatur dengan UU lebih lanjut. Akan tetapi, pemisahan bidang pertahanan bagi TNI dan keamanan bagi POLRI tetap dibedakan.

8. Drs. Abdul Khaliq Ahmad (F-KB)

Fraksi ini memberikan pandangan sebagai berikut: dimensi force dan security harus direpresentasikan tertulis dalam konstitusi, TNI sebagai alat negara harus ada penegasan eksplisit agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seprti pada masa lalu, institusi kepolisian juga harus eksplisit disebut dalam konstitusi karena fungsinya sebagai alat keamanan negara juga sebagai penegak hukum. Fraksi ini mengusulkan nama Bab tidak berubah, tetapi terdapat penambahan pasal baru menyangkut susunan kedudukan dan tugas TNI & POLRI, profesionalisme dilingkungan tentara dan kepolisian dibidang masing-masing, dan penegak hukum yang independent dan bebas dari institusi lain termasuk militer dalam rangka penegakan supremasi hukum di Indonesia.

9. Ir. A.M. Lutfi (F-Reformasi)

Fraksi ini mengusulkan judul menjadi Pembelaan Negara dan memasukkan pasal 30 ini menjadi 3 pasal tentang Pembelaan Negara, TNI, dan POLRI, yang masing-masing terdiri dari 3 ayat. Dalam salah satu ayat pasal tentang pembelaan Negara mencantumkan bahwa usaha pembelaan Negara dilakukan oleh TNI dan POLRI sebagai inti kekuatan dan dibantu oleh rakyat yang telah diorganisir, dilatih dan disiapkan secara khusus dalam pembelaan Negara.

10. Harun Kamil, SH (F-PDKB)

Fraksi ini berpendapat tetap pada pasal yang lama, namun ditambah ayat baru mengenai tanggung jawab TNI dalam hal memperthankan kedualatan dan keutuhan negara. Kemudaian fraksi ini menambah pasal baru yang memperjelas fungsi dan tugas POLRI yang diperbaharui.

Setelah seluruh fraksi yang hadir menyampaikan pendapat dan usulannya maka pimpinan rapat memberikan garis besar apa yang telah dikemukakan mengenai perumusan dan penyusunan pasal 30 tersebut. Sidang kemudian diakhiri pada pukul 11:46 yang ditutup dengan ketokan palu sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian dari risalah tersebut maka original intend mengenai perumusan dan penyusunan pasal mengenai pertahanan Negara ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:[20]

1. Pandangan terhadap nama bab dan judul:
1. Ada yang meminta tetap;
2. Ada yang menggabungkan kata pembelaan dan pertahanan negara;
3. Ada yang menggabungkan kata pertahanan dan keamanan negara;
4. Ada yang meminta pembelaan negara;
5. Ada yang memisahkan bab ini menjadi tiga, yakni scara berturut-turut adalah Bab Pertahanan Negara, Bab TNI dan Bab Kepolisian Negara.
2. Pandangan tentang substansi Bab:
1. Sebagian besar fraksi-fraksi memandang penting untuk melakukan pemisahan secara jelas fungsi pertahanan dan keamanan, walaupun demikian ada fraksi yang meminta supaya terdapat pengaturan interaksi diantara fungsi-fungsi tersebut;
2. Mengenai keterlibatan rakyat, dalam hal ini adalah milisi ataupun rakyat terlatih.

E. Analisa Terhadap Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 Hasil Amandemen

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perubahan terhadap perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 seperti tercantum pada awal tulisan ini adalah merupakan hasil dari Perubahan Kedua UUD 1945. Pemahaman yang kita ketahui mengenai adanya perubahan tersebut sebagaian besar adanya kehendak untuk memisahkan peran TNI dan POLRI dalam usaha dibidang pertahanan dan keamanan sebagai kekuatan utama dalam upaya peranan pertahanan dan keamanan negara yang dilaksanakan melalui suatu rumusan sistem yang disebut HANKAMRATA.[21] Implementasi dari Pasal 30 tersebut diantaranya adalah adanya pemisahan TNI dan POLRI pada era reformasi yang menunjukkan paradigma baru ABRI dalam sistem ketatanegaraan. Hal ini mengandung maksud bahwa hampir diseluruh dunia, kepolisian bukanlah bagian dari fungsi militer melainkan polisi berada dibawah otoritas sipil yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta pengayoman terhadap masyarakat. Kerancuan terminologi yang disebabkan oleh menyatunafaskan pertahanan dengan keamanan pada masa rezim yang lalu telah membawa paradigma yang keliru sehingga para pengambil keputusan politik merespon tuntutan masyarakat untuk memisahkan TNI dan POLRI.[22] Sesungguhnya mengenai permasalahan ini telah dibahas jauh-jauh hari sebelum berlangsungnya proses penyusunan dan perumusan Pasal 30 UUD 1945. Pendalaman materi peran TNI dan POLRI telah dibahas oleh Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR pada hari Selasa, 22 Pebruari 2000, di ruang Nusantara IV dengan pimpinan rapat oleh Hj. Aisyah Aminny, SH.[23]

Dalam rapat pembahasan itu telah dijelaskan secara rinci mengenai reposisi, redefinisi, dan reorganisasi baik peran TNI maupun peran POLRI secara keseluruhan. Inti dari rapat tersebut salah satunya menyimpulkan bahwa dengan kewenangan POLRI dibidang keamanan, tidak berarti TNI dibebaskan dari urusan keamanan dalam negeri (Kamdagri) dalam kondisi tertentu dimana kedaulatan negara terancam maka TNI sesuai dengan ketentuan yang (akan) berlaku, baik UU Penanggulangan Keadaan Bahaya atau apapun bentuknya, nanti akan tampil untuk menegakkan kembali kedaulatan.[24] Penjabaran pemisahan TNI dan POLRI berikut perannya kemudian dituangkan dalam dua bentuk Ketetapan MPR RI sebagai dasar sebelum adanya ketentuan perarturan perundang-undangan yang mengaturnya, antara lain adalah TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI. Dengan demikian, kedua institusi tersebut menjadi terpisah secara kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, yakni TNI sebagai alat negara yang berperan dalam pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan POLRI adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[25]

Seiring perubahan terhadap Pasal 30 UUD 1945 yang semula terdiri dari dua ayat sehingga menjadi 4 ayat, telah memberi penegasan sebagai hukum dasar mengenai pengaturan masalah pertahanan dan keamanan. Pemisahan ini pula timbul dari suasana kebatinan dari para wakil rakyat yang hendak mewujudkan pemisahan dwifungsi TNI dan keprofesionalitasannya sebagai alat negara. Hal ini salah satunya mungkin mendorong munculnya langkah baru yang lebih inovatif yang telah mempengaruhi masuknya pasal itu.[26] Namun demikian, terhadap perubahan pasal tersebut tidak banyak dikomentari dalam kalangan TNI maupun POLRI, melainkan kedua institusi ini memberikan sikapnya dengan menyampaikan beberapa rekomendasi secara menyeluruh mengenai amandemen UUD 1945 yang secara garis besar mendukung sepenuhnya hasil Sidang Tahunan MPR tersebut.[27]

Pada bulan Agustus 2003, Tap MPR No. I/MPR/2003 mengugurkan kedua TAP MPR diatas setelah disahkannya Undang-undang yang mengatur tentang POLRI dan Pertahanan Negara. Begitu pula pada pertengahan bulan Oktober 2004, DPR mensahkan kembali UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan demikian, pada awal Maret 2005 telah ada UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri dan UU tentang TNI. Namun, satu hal yang menjadi persoalan hingga kini adalah belum adanya UU tentang “Keamanan Negara” guna merangkai Keamanan Negara dalam satu sistem dengan Pertahanan Negara, sehingga baik UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri maupun UU tentang TNI sama sekali tidak menyebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai landasan pokok pemikiran bahwa terdapat kaitan sinergis antara fungsi pertahanan negara dengan keamanan negara.[28]Dengan demikian, jika kita meninjau Pasal 30 ayat (2) dan konsisten dengan amanat pasal tersebut, yakni membangun sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, maka perlu disiapkan UU yang mengatur tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang isinya mengandung muatan semangat dan performa “sishankamrata.” Disamping itu, apabila penyebutan pertahanan negara dan keamanan negara dipilih sebagai istilah standar pada judul Bab XII UUD 1945 maka secara logika seharusnya dibuat UU yang mengatur Keamanan Negara untuk mewadahi UU tentang POLRI sebagaimana halnya UU Pertahanan Negara untuk mewadahi UU tentang TNI. Konsepsi pemikiran demikian seharusnya telah disadari sebelumya oleh para pembentuk UU sebagai implementasi dari perumusan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 sehingga rasio pemikiran terhadap pasal tersebut tidak menjadi rancu, dimana dibuat UU payung untuk melaksanakan UU kedua institusi tersebut agar saling bersinergis dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.Sinergi TNI-POLRI dalam rangka pengembangan wawasan sishankamneg dan penegakan hukum dapat dilihat dari beberapa hal yang urgensi, antara lain:[29] pertama, menetralisir adanya kesan bahwa secara kelembagaan POLRI sekarang "merdeka" dari pengaruh TNI sehingga bebas menentukan kebijaksanaannya sendiri. Kedua, mendorong perubahan perilaku polisi dari alat pertahanan dan keamanan dalam perspektif negara otoriter menuju alat penegak hukum didalam negara yang demokratis. Dan ketiga, mencegah adanya egoisme sektoral dan sebaliknya meningkatkan kerjasama diantara dua kekuatan yang sama-sama memiliki senjata, yakni TNI dan POLRI. Oleh karena itu ada baiknya UU payung yang akan mengatur masalah pertahanan dan keamanan negara seperti tersebut diatas, sepatutnya dibahas secara bersama dengan RUU yang relevan atau berkaitan dengan masalah tersebut, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU Intelijen Negara, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Peradilan Militer sebagai bahan program legislasi nasional periode mendatang. Konsepsi pertahanan dan keamanan negara yang berorientasi ke masa depan perlu mampu mengantisipasi perkembangan di masa depan pula yang berpengaruh terhadap masalah pertahanan dan keamanan. Sehubungan dengan hal itu, maka konsepsi pertahanan dan keamanan harus mampu melihat lingkup pertahanan dan keamanan negara secara utuh dan komprehensif yang mencakup:[30]

1. kondisi obyektif bangsa dan negara saat ini;
2. nilai budaya bangsa yang merupakan perpaduan dari ciri budaya maupun pengaruh empirik sejarah bangsa; serta
3. kepentingan untuk mampu merespon tantangan masa depan.

Untuk memahami dengan seksama Pasal 30 ayat (2) tidak dapat terlepas dalam memahami Pasal 30 secara keseluruhan. Oleh karenanya wajib mengelar pasal 30 serta ayat-ayat yang terkandung didalamnya secara utuh dan lengkap. Dalam suatu negara demokrasi, kepedulian tentang pertahanan & keamanan negara dalam arti luas adalah hak dan kewajiban tiap warga negara sebagaimana tercantum di ayat (1) Pasal 30 UUD 1945.

F. Perbandingan dengan Negara lain

Dalam hal membandingkan Pasal 30 UUD 1945 tersebut dengan pasal-pasal yang berkaitan atau berhubungan dengan bidang pertahanan dan keamanan pada beberapa konstitusi negara-negara asing yang diperoleh, maka sedikitnya dapat memberikan gambaran mengenai pasal yang serupa atau setidaknya terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan. Adapun konstitusi-konstitusi mancanegara itu terbatas pada konstistusi sebagai berikut:

1. Konstitusi Amerika Serikat[31]

Dalam konstitusi AS, bidang pertahanan dan keamanan Negara tidak tercantum ataupun diatur secara eksplisit baik dalam artikel-artikel maupun pasal-pasalnya. Kendati demikian, masalah pertahanan disediakan bersama sebagai Rakyat AS pada pembukaan konstitusi sebagai salah satu tujuan memproklamirkan dan menetapkan konstitusinya..

2. Konstitusi Australia[32]

Dalam konstitusi Australia terdapat satu pasal mengenai masalah pertahanan, yaitu Pasal 119 tentang Perlindungan atas Negara Bagian dalam Bab V mengenai Negara Bagian, yang berbunyi: “Persemakmuran akan melindungi tiap-tiap Negara Bagian terhadap invasi dan, dengan aplikasi dari Pemerintah Eksekutif Negara Bagian, menghadapi kekerasan domestik.”

3. Konstitusi Belanda[33]

Menurut konstitusi Belanda bahwa masalah yang berkaitan erat dengan bidang pertahanan diatur dalam 6 pasal, yakni pasal 97, 98, 99, 100, 101 dan 102, dan masalah keamanan diatur hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 103. Semua pasal ini termasuk dalam Bab V mengenai Perundang-undangan dan Administrasi yang masuk dalam Bagian 2 tentang Ketentuan Lainnya.

4. Konstitusi Jepang[34]

Berdasarkan pembukaan konstitusi Jepang bahwa Rakyat Jepang telah menentukan untuk memelihara keberadaan dan keamanan mereka. Namun hal tersebut tidak dijelaskan dalam pasal-pasalnya sehingga tidak ada pasal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara. Akan tetapi, terdapat 1 pasal dalam Bab II yang menjelaskan mengenai Penolakan Perang, yakni pasal 9 yang terdiri dari 2 ayat. Pasal ini menegaskan Rakyat Jepang mengharap perdamaian internasional yang berdasar keadilan & ketertiban sehingga dalam rangka memenuhi tujuan itu, AD, AL dan AU, seperti potensi peperangan lainnya, tidak akan dipelihara.

5. Konstitusi Swedia[35]

Mengenai masalah pertahanan dalam konstitusi Swedia dinyatakan dalam dua Bab, yakni Bab 10 mengenai Hubungan Dengan Negara Lain, terdapat dalam pasal 9 yang terdiri dari 3 ayat. Pasal ini intinya adalah pengerahan angkatan bersenjata swedia. Sedangkan Bab lain yang lebih khusus adalah Bab 13 mengenai Peperangan dan Bahaya Peperangan, yang terdiri atas 13 pasal yang berkaitan atas berbagai hal apabila negera sedang berperang atau dalam bahaya perang.

Demikian penyampaian penulisan kami dalam memahami proses perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 hasil Perubahan Kedua. Semoga dapat bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan.

* * *



Pembahasan selengkapnya silahkan lihat tesis kami yang berjudul:

“POLITIK HUKUM KEAMANAN NASIONAL SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA.” JAKARTA: FHUI, 2006.



DAFTAR PUSTAKA

Alrasid, Harun. “Membangun Indonesia Baru dengan UUD Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima).” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta, 31 Oktober 1998.

Arinanto, Satya. “Perubahan Undang-undang Dasar 1945.” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945, Jakarta, 15 Agustus 2002.

Aritonang, Baharuddin. “Suasana Kebatinan dalam Penyusunan UUD.” . 26 November 2001. diakses tanggal 6 Desember 2005

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Cet. I. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_____. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Cet. II. Jakarta: Yarsif Watampone, 2003.

_____. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM. Cet. II. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri Departemen Kehakiman dan HAM RI. Terjemahan Konstitusi Negara Asing, Jakarta: Depkeh dan HAM, 2004.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Cet. I. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945

_____. Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

_____. Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kristiadi, J. “Demokratisasi dan Strategi Keamanan Nasional yang Partisipatif” dalam Perspektif Baru Keamanan Nasional, cet. I, diedit oleh Bantarto Bandoro. Jakarta: CSIS, 2005.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999. Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999.

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Sidang Tahunan MPR RI 7 – 18 Agustus 2000. Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000.

Muchsin. Ikhtisar Sejarah Hukum. Cet. I. Jakarta, Badan Penerbit IBLAM, 2004.

Risalah Rapat Pleno Ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR mengenai Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Buku Kedua Jilid 3 C.

Risalah Rapat Ke-25 Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mengenai Pendalaman Materi Peran TNI/POLRI. Buku Kedua Jilid 6 A.

Rudy, T. May. Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Cet. I. Jakarta, Refika Aditama, 2002.

Samego, Indria. “Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara dalam Perspektif Demokratisasi: Sebuah Pengantar” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem). Cet. I. Diedit oleh Indria Samego. Jakarta: The Habibie Center, 2001.

Sikap TNI dan POLRI Terhadap Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. . 30 Juli 2002. diakses tanggal 6 Desember 2005. Sikap TNI-POLRI Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945 Pada ST MPR 2002, . 16 September 2002. diakses tanggal 6 Desember 2005. Simandjuntak, Marsillam. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Cet. III. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2003. Sudarsono, Juwono. “Pertahanan dan Keamanan Negara.” . diakses tanggal 6 Desember 2005

Widjojo, Agus. “Wawasan Masa Depan Tentang Sistem Pertahanan Keamanan Negara” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem). Cet. I. Diedit oleh Indria Samego. Jakarta: The Habibie Center.

[1] Alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

[2] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. I, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 35.

[3] Ibid., hal. 36.

[4] Ibid.

[5] Marsillam Simandjuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, cet. III, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2003), 44-45.

[6] Ibid., hal. 28.

[7] Ibid., hal. 8.

[8] Lihat Penjelasan Tentang UUD Negara Indonesia 1945 yang asli.

[9] Satya Arinanto, “Perubahan Undang-undang Dasar 1945,” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945, Jakarta, 15 Agustus 2002), hal. 3.

[10] Harun Alrasid, “Membangun Indonesia Baru dengan UUD Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima),” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta, 31 Oktober 1998), hal. 3-4.

[11] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945, Pasal 30.

[12] Satya Arinanto, op.cit., hal. 7.

[13] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. I, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 124.

[14] Pasal-pasal yang diubah pada Perubahan Pertama adalah Pasal 5 (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 (2) dan (3), Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945. Dalam batas-batas tertentu, Perubahan Pertama ini telah menitikberatkan pergeseran sistem pemerintahan dari pihak eksekutif kepada pihak legislatif. Meskipun demikian masih mengandung beberapa kelemahan didalamnya.

[15] Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 1999), hal. 109-111.

[16] Pasal-pasal yang diubah pada Perubahan Kedua adalah Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 36 UUD 1945.

[17] Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Sidang Tahunan MPR RI 7 – 18 Agustus 2000, (Jakarta Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000), hal. 7-13.

[18] Satya Arinanto, op.cit., hal. 12-13.

[19] Lihat Risalah Rapat Pleno Ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR mengenai Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Buku Kedua Jilid 3 C, hal. 555-579.

[20] Ibid., hal. 574.

[21] HANKAMRATA adalah singkatan dari Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta.Lihat juga Juwono Sudarsono, “Pertahanan dan Keamanan Negara,” , diakses tanggal 6 Desember 2005.

[22] J. Kristiadi, “Demokratisasi dan Strategi Keamanan Nasional yang Partisipatif” dalam Perspektif Baru Keamanan Nasional, cet. I, diedit oleh Bantarto Bandoro, (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 21.

[23] Lihat Risalah Rapat Ke-25 Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mengenai Pendalaman Materi Peran TNI/POLRI, Buku Kedua Jilid 6 A, hal. 873-910.

[24] Ibid. hal. 908.

[25] Indonesia, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 1 dan pasal 2 ayat (1) dan (2) junto Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 2 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1).

Lihat juga Risalah Hasil-hasil Sidang Tahunan MPR RI (Sidang Tahunan 2000), Buku Ketiga Jilid 18, hal. 77-91.

[26] Baharuddin Aritonang, “Suasana Kebatinan dalam Penyusunan UUD, , 26 November 2001, diakses tanggal 6 Desember 2005.

[27] Lihat Sikap TNI dan POLRI Terhadap Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, , 30 Juli 2002, dan lihat juga Sikap TNI-POLRI Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945 Pada ST MPR 2002, , 16 September 2002, diakses tanggal 6 Desember 2005.

[28] Juwono Sudarsono, op.cit.

[29] Indria Samego, “Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara dalam Perspektif Demokratisasi: Sebuah Pengantar” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem), cet. I, diedit oleh Indria Samego, (Jakarta: The Habibie Center, 2001), hal. 11-12.

[30] Agus Widjojo, “Wawasan Masa Depan Tentang Sistem Pertahanan Keamanan Negara” dalam Sistem Pertahanan-Keamanan Negara (Analisis Potensi & Problem), cet. I, diedit oleh Indria Samego, (Jakarta: The Habibie Center, 2001), hal. 58.

[31] Biro Hubungan Masyarakat dan Hubungan Luar Negeri Departemen Kehakiman dan HAM RI, Terjemahan Konstitusi Negara Asing, (Jakarta: Depkeh&HAM, 2004), hal. 1.

[32] Ibid., hal. 74

[33] Ibid., hal. 113-114.

[34] Ibid., hal. 136 dan 140.

[35] Ibid., hal. 217 dan 227-232.

Urgensi Amendemen UUD 1945 Sebelum Pemilu 2009

Belakangan ini setelah perombakan kabinet menyita perhatian, mencuat kembali permasalahan usulan amendemen UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan perlunya amendemen kembali UUD 1945, terutama menyangkut pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangannya (22D ayat 1, 2 dan 3).

Usul tersebut akhirnya diwujudkan dengan terkumpulnya 238 suara pada 8 Mei 2007, sehingga memenuhi jumlah suara minimal (kuorum) sebanyak 226 anggota MPR, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37 UUD 1945. Anehnya, sehari setelah usul akan diajukan kepada MPR, Partai Demokrat menarik kembali dukungan suara 23 anggotanya. Dengan demikian usul amendemen yang sudah sekian lama diupayakan DPD mentah kembali.

Penarikan kembali dukungan suara Partai Demokrat secara substantif dapat mengubur kembali harapan dan peluang amendemen UUD 1945 yang sudah di depan mata. Penarikan itu jelas merugikan Partai Demokrat sendiri, mengingat Presiden Yudhoyono yang berasal dari Partai Demokrat sering kali dihadapkan pada persoalan-persoalan pemerintahan yang berawal dari ketidakjelasan UUD 1945. Tetapi, kabar terbaru dari wacana ini, DPD berhasil kembali mengumpulkan dukungan sehingga melebihi batas minimal untuk mengajukan usul amendemen UUD 1945.

Perkembangan-perkembangan mengenai wacana amendemen V UUD 1945 menunjukkan suatu tanda positif akan kepedulian terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia, sehingga usul amendemen UUD 1945 merupakan sebuah "keniscayaan". Hal itu dikarenakan hasil empat kali amendemen UUD 1945 banyak kelemahan, yang menimbulkan persoalan-persoalan di dalam praktik pemerintahan. Persoalan-persoalan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan cara pembuatan undang-undang, yang sampai sekarang masih dilakukan lembaga legislatif. Cara tersebut hanya bersifat tambal-sulam dan tidak menyelesaikan masalah, karena persoalan yang dipermasalahkan sangat mendasar, yang seharusnya diatur dalam suatu UUD. Melalui amendemen kembali UUD 1945 merupakan solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Akan tetapi amendemen kembali UUD 1945 tidak bisa dilakukan secara parsial. Jangan pula kita terjebak mengamendemen UUD tapi terbatas pada kewenangan DPD karena DPD yang mengusulkan. Amendemen ini harus dijadikan pintu masuk untuk membenahi UUD 1945 yang selama ini dirasakan kurang mampu menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan. Amendemen tersebut harus dilakukan secara komprehensif menyangkut soal kejelasan posisi dan hubungan (checks and balances) kelembagaan negara yang terdapat pada Kejelasan Sistem Pemerintahan, Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Kehakiman.

Permasalahan di atas dapat kita simpulkan dari berbagai perkembangan ketatanegaraan yang ada setelah amendemen IV UUD 1945 juga kasus-kasus yang diajukan pada Mahkamah Konstitusi.

DPD yang menginginkan lembaganya diperkuat supaya lebih mempunyai daya tawar terhadap undang-undang yang berkaitan dengan daerah, yang mau tidak mau harus mengubah Pasal 5 dan 22D, solusi itu juga sesuai dengan hasil Komisi Konstitusi yang menginginkan sistem parlemen kita menjadi strong bicameralism. Permasalahan DPD akan berakibat pada lembaga MPR yang diatur pada Pasal 2 dan 3 UUD 1945, yang selama ini masih dipertahankan untuk dievaluasi keberadaannya, apakah diperlukan atau tidak lembaga ini menjadi lembaga parlemen ketiga setelah DPR atau DPD, ataukah hanya bersifat joint session antara lembaga DPR dan lembaga DPD.

Praktik selama ini yang kita lihat, fungsi dan wewenang lembaga MPR tidak bersifat rutin, sehingga tidak diperlukan lembaga permanen. Sistem pemerintahan kita yang presidensial dan diatur dalam Pasal 4-16 UUD 1945 seharusnya diperkuat untuk mengimbangi kewenangan-kewenangan pada legislatif, sehingga sistem presidensial kita berjalan sebagaimana mestinya.

Kekuasaan kehakiman yang sekarang tidak jelas aturan mekanisme checks and balancesnya harus juga diatur dalam UUD, karena setelah putusan MK pengawasan terhadap lembaga pemegang kekuasaan kehakiman menjadi tidak jelas. Komisi Yudisial akhirnya menjadi tumbal dari ketidakjelasan itu. Peran Komisi Yudisial secara nyata yang dapat dirasakan hanyalah pada saat pemilihan calon hakim agung dan tidak pada fungsi pengawasannya. Mnejadi tidak jelas siapa yang mengawasi hakim konstitusi, sehingga tidak tercapai mekanisme checks and balances yang dulu diharapkan.

Penguatan atau daya paksa putusan MK pun seharusnya diatur dalam UUD, karena bagaimana lembaga negara lain mau menghormati putusan MK kalau tidak jelas daya paksanya? Hal itu terlihat dari keengganan pemerintah menjalankan putusan MK mengenai Anggaran Pendidikan dalam UU APBN.

Jika ingin lebih maju dalam hal kontrol masyarakat terhadap lembaga negara adalah dengan memasukkan Constitutional Complaint (CC) dalam UUD, karena dengan memasukkan CC ke dalam UUD peraturan dan kebijakan yang dirasakan individu masyarakat bertentangan dengan UUD dapat diajukan ke MK.

Mengingat pentingnya amendemen UUD 1945, prosesnya harus dilakukan sebelum Pemilu 2009 melalui komisi/badan khusus yang dibentuk untuk itu. Karena, setelah Pemilu 2009 konfigurasi politik akan berubah. Walaupun mungkin masih tetap ada anggota DPD yang ingin melanjutkan perjuangan itu, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk tidak melanjutkannya. Kalaupun dilanjutkan, anggota DPR dan DPD terpilih akan tersita waktunya terlebih dahulu untuk beradaptasi dengan pekerjaan juga urusan-urusan internal lembaga mereka.

Dengan adanya komisi/badan khusus yang dibentuk diharapkan rumusan-rumusan UUD 1945 menjadi lebih komprehensif, karena akan dibahas ahli-ahli juga komponen masyarakat yang mengerti betul permasalahan dan solusi terhadap materi UUD 1945.

Bukankah naskah dan bahan perbaikan UUD 1945 telah dibuat Komisi Konstitusi sehingga sudah ada bahan dasar dalam melakukan amendemen?

Keuntungan lain dari pembentukan badan/komisi khusus adalah MPR tinggal membahas pada tahap final dan mengesahkannya dengan tidak mengganggu pekerjaannya sebagai anggota DPR dan DPD, yang sibuk mengerjakan dan membahas UU.

Hak Uji Materiil (Menurut Amandemen UUD 45 Dan Perbandingan MA Di Amerika Serikat)

I. PENDAHULUAN

Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yaitu:
a. hak menguji formil (formele toetsingsrecht),
b. hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).

Yang dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas.
Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d UU No. 22 Tahun 1999). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.

Yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu 3:
1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review)
2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan
3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).

Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the supreme law."
Dalam hal ini, agar UUD dapat dilindungi atau terproteksi, maka keberadaan hak menguji materiil sebagai bagian dari "the guarentees of the constitution." UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Secara a contario peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak boleh menyimpangi, bertentangan atau tidak konsisten dengan UUD. Keberadaan hak menguji materiil pada hakekatnya berupa alat kontrol atau pengendali terhadap kewenangan suatu peraturan perundang-undangan, jika ada pendapat menyatakan hak menguji materiil berkaitan dengan konsep trias politika adalah suatu kekeliruan. Dalam konsep trias politika, khususnya konsep "seperation of power," fungsi satu badan tidak dibenarkan melakukan "intervensi" tehadap badan lain. Keberadaan hak menguji materiil adalah koreksi terhadap konsepsi "seperation of power," keberadaannya lebih relevan dengan konsepsi "chek and balances," yaitu agar suatu badan tidak melewati kewenangannya.

II. HAK MENGUJI MATERIIL DI INDONESIA

Pengaturan hak menguji materiil di Indonesia baru dimulai dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (yang beberapa ketentuannya telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), sebagaimana ditetapkan Pasal 26, yang kesimpulannya :
1. Hanya Mahkamah Agung yang diberi kewenangan untuk menguji materiil, badan-badan kekuasaan kehakiman lainnya tidak diberi wewenang untuk itu.
2. Putusan Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan hak menguji materiil tersebut berupa pernyataan tidak sah peraturan perundang-undangan yang diuji tersebut dan dengan alasan bahwa isi dari peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
3. Yang dapat diuji hanya bentuk hukum berupa peraturan perundang-undangan dan jenis yang dapat diuji adalah peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah UU atau Peraturan Pemerintah ke bawah.
4. Hak menguji materiil dapat dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
5. Peraturan yang telah dinyatakan tidak sah tersebut dicabut oleh instansi yang bersangkutan atau yang menetapkan.

Kemudian, apabila diteliti dengan seksama Penjelasan Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 199 tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa undang-undang pun dapat diuji secara materiil terhadap ketentuan UUD.
2. Pemberian kewenangan hak menguji materiil terhadap undang-undang hanya dapat diberikan oleh pembentuk UUD (MPR) oleh karenanya harus diatur dalam UUD atau Ketetapan MPR.
3. Hak menguji peraturan pelaksanaan undang-undang terhadap UUD sebagai fungsi pokok tidak diberikan kepada Mahkamah Agung. Dengan perkataan lain, menurut pembentuk UU No. 14 tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999) hanya dapat diuji terhadap undang-undang atau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak terhadap UUD. Jadi, UUD tidak dapat dipakai sebagai "batu uji".

Kemudian dengan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004 (yang menggantikan UUD No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999), mengenai kewenangan hak menguji materiil diatur dalam Pasal 11 ayat (2) b yang menyebutkan bahwa : "Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang."

Pasal 12 ayat (1) a UU No. 4 Tahun 2004 tersebut, diatur mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD RI Tahun 1945.

Hak menguji materiil pada Mahkamah Agung juga diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung, dalam Pasal 31, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak menguji materiil terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993, sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans "menimbang" yaitu dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan peradilan mengenai hak menguji materiil, agar penyelenggaraan peradilan mengenai hal itu dapat berjalan lancar.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Mahkmah Agung yang baru yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hak menguji materiil pada Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 31, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga) puluh hari kerja sejak putusan diucapkan.
Kini, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah membentuk lembaga baru dalam Amandemen UUD 1945 (Pasal 24 ayat (2) yis 24C dan 7B), yaitu Mahkamah Konstitusi. Pengaturan Mahkamah Konstitusi ternyata mengacaukan skema pengujian undang-undang (constitutional review).

Pasal 24 ayat (2) Amandemen UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi paralel dengan Mahkamah Agung yaitu dalam hal badan peradilan yang melakukan salah satu pelaku, salah satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman (seperti juga diatur dalam pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 1 jo. Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi). Tetapi dalam hal lainnya Mahkamah Konstitusi "mengatasi" Mahkamah Agung, bukan sejajar atau di bawahnya, karena Mahkamah Konstitusi berhak memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (Pasal 24C ayat (1) Amandemen UUD 1945 jo. Pasal 12 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004); sehingga membuka peluang bagi suatu lembaga negara guna menggugat putusan Mahkamah Agung dalam perkara judicial review.

Kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi mencakup 4 kategori : constitutional review, sengketa antarlembaga negara; impeachment process, serta perkara politik berupa sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai {Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003}; dimana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh {Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003}.

Dengan demikian kedudukan lembaga Mahkamah Konstitusi ini ternyata mengakibatkan kerancuan, sebab menurut Pasal 24 Amandemen UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berada sama dan sejajar dengan Mahkamah Agung. Namun, anehnya justru Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan lebih tinggi dari Mahkamah Agung, yakni judicial review atas UU; sedang wewenang Mahkamah Agung dalam judicial review hanya terhadap peraturan perundangan di bawah UU.

III. MAHKAMAH AGUNG DI AMERIKA SERIKAT

Peran Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan melakukan uji materiil terhadap UU, jelas mengadopsi dari praktek bernegara di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memiliki kedudukan tertinggi di bidang judicial atau supreme of court dapat melakukan uji materiil terhadap UU.
Akan tetapi, hak uji materiil yang ada pada Mahkamah Agung di Amerika Serikat tersebut tidak diatur dalam konstitusi, seperti yang termuat dalam article vi section 2 Konstitusi Amerika Serikat, yaitu5 :
"Konstitusi ini dan semua UU di Amerika Serikat harus dibuat untuk maksud dan tujuan yang telah ditentukan, dan semua perjanjian yang dibuat di bawah wewenang Amerika Serikat akan menjadi hukum yang tertinggi, dan para hakim di tiap-tiap negara bagian akan terikat dalam batas peraturan perundang-undangan negara bagian yang bersangkutan meskipun bertentangan."
Mahkamah Agung Amerika Serikat menempatkan diri dalam kedudukan sebagai badan yang melaksanakan judicial review pada tahun 1803, yaitu dalam kasus William Marbury vs. Madison. Untuk pertama kalinya Mahkamah Agung (John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung waktu itu) menyatakan bahwa Undang-undang Federal sebagai unconstitutional. Maka dengan adanya putusan tersebut, John Marshall telah menempatkan doktrin judicial review ke dalam sistem hukum formal Amerika Serikat. Sejak saat itu pula telah banyak Undang-undang Negara Bagian dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh Mahkamah Agung.6

Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah satu-satunya Pengadilan Federal yang dibentuk oleh UUD. Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak dapat dihapuskan, selain dengan mengubah UUD. Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah Pengadilan Tertinggi di seluruh Negara Amerika Serikat. Keputusannya tidak dapat diubah lagi.
Tidak ada pengadilan lain untuk menerima banding (appeal) keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sungguh-pun bukan Congress (=MPR) yang membentuk Mahkamah Agung Amertika Serikat, Congress berhak menetapkan UU tentang susunan dan tata bekerjanya Mahkamah Agung Amerika Serikat. Congress sewaktu-waktu menetapkan beberapa orang hakim menjadi anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan beberapa penghasilan masing-masing.
Para hakim dalam Mahkamah Agung Amerika Serikat membawa berbagai pengalaman dan pandangan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Mereka tidak hanya ditarik dari kalangan pengacara dan kalangan hakim/jaksa tetapi dalam beberapa peristiwa terkenal, juga dari kedudukan dalam pemerintahan. Besarnya Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memungkinkan semua anggota untuk berpartisipasi dalam semua tindakannya.7
Orang-orang yang dipilih Presiden untuk diangkat menjadi Hakim Agung menghendaki pengesahan Senate (=DPR). Dengan beberapa pembatasan, Congress dapat menetapkan perkara-perkara yang akan diperiksa oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Akan tetapi Congress tidak dapat mengubah kekuasaan yang diberikan kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat menurut UUD.
Suatu hal yang sangat khas dari Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah, bahwa setiap pendapatnya merupakan penjelasan terperinci dan bukan perintah (fiat). Banyak kesempatan diberikan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan pribadi, baik yang sepaham (dalam concurring opinions) maupun dari pandangan-pandangan yang tidak setuju merupakan suatu tantangan bagi kematangan politik masyarakat.

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tersebut mengandung penghargaan, atas nilai dari dialog-dialog yang telah diadakan dalam rangka mencari apa yang benar dan apa yang adil. Disamping itu, Mahkamah Agung Amerika Serikat selalu membuka diri untuk mempertimbangkan doktrin-doktrin kembali, dengan mendasarkan pada pelajaran dari pengalaman dan daya berpikir yang lebih baik.
Aspek paling berarti dari pekerjaan Mahkamah Agung Amerika Serikat, terletak justru dalam cara dan proses pemutusan ini. Dengan menghindari kemutlakan, menguji semboyan-semboyan umum terhadap kenyataan-kenyataan konkrit, memutus hanya dalam konteks kontroversi-kontroversi yang khas, menemukan akomodasi antara prinsip-prinsip yang berlawanan, membuka diri untuk mempertimbangkan ulang dogma-dogma; maka Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam keadaannya yang paling baik, memberikan suatu lambang kerukunan. Mungkin juga, gabungan aktif di antara idealisme dengan pragmatisme yang pada akhirnya merupakan sifat yang paling patut dihargai dari proses peradilan sebagaimana diselenggarakan di Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Mencari Arah Republik

Mencari Arah Republik
Muhammad Syamsul Ketua GARUDA KPPRI

Tanggal 15 Agustus lalu, saat menyampaikan tilikan politik atas hasil jajak pendapat Mencari Arah Republik 2009, saya melihat realitas, ketika muncul kesulitan BBM, pemerintah tiba-tiba mencanangkan penghematan, mengurangi penerangan di kantor, menaikkan suhu AC, dan sebagainya.

Entah reaksi apa yang akan dilakukan pemerintah saat harga minyak dunia mencapai 70 dollar AS per barel. Yang aneh dari tindakan pemerintah adalah kebiasaan memublikasikan subsidi BBM yang akan mencapai Rp 100 triliun lebih tanpa menginformasikan penerimaan negara dari ekspor minyak. Patut dipertanyakan berapa dan ke mana mengalirnya hasil ekspor minyak. Apakah angka subsidi BBM sudah dikurangi penghasilan dari ekspor minyak?

Realitas lain, saat muncul wabah busung lapar dan polio, menteri kesehatan mengunjungi daerah wabah lalu memerintahkan jajarannya untuk memberi gizi tambahan dan vaksinasi. Cermin pemerintahan seperti apa ini? Bukankah BBM dapat diatur agar tidak muncul kesulitan? Bukankah kesehatan balita dapat dijaga sehingga tidak terjadi busung lapar?

Harga yang harus dibayar

Pemerintah seharusnya tidak hanya reaktif atas masalah yang muncul, tetapi harus memiliki arah yang jelas. Ada titik yang hendak dituju oleh arah itu. Alam pun memiliki tujuan, yaitu kebebasan. Revolusi dan reformasi di seluruh belahan bumi adalah alam yang sedang bekerja mewujudkan kebebasan. Korban jiwa dalam revolusi dan reformasi adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan.

Tetapi, apakah bayi yang mati karena busung lapar merupakan harga yang harus dibayar oleh alam untuk mencapai tujuannya? Ini bukan merupakan harga yang harus dibayar alam. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk pemerintahan yang tanpa arah.

Pentingnya arah

Dari hasil jajak pendapat 28 Juli-4 Agustus terungkap, lebih dari 70 persen responden menilai pemerintahan belum punya arah. Angka itu dapat ditafsirkan sebagai sebuah kondisi yang memprihatinkan. Negara ini berjalan tanpa tujuan pasti. Mengapa pemerintah harus mempunyai arah, tidak hanya reaktif terhadap masalah? Arah diperlukan terutama karena negara ini telah terjerumus dalam sedikitnya tiga jeratan. Pemerintah harus mengarahkan negara untuk keluar dari berbagai jeratan itu.

Pertama, jeratan utang. Utang Republik amat besar, lebih dari Rp 1.000 triliun. Meski penerimaan dalam negeri terus meningkat, kesejahteraan rakyat tidak pernah menjadi kenyataan. Sedikitnya 30 persen dari hasil penerimaan mengalir keluar untuk bayar utang. Kedua, jeratan berbagai masalah yang terus mendera, seperti krisis energi yang bisa berujung krisis kepercayaan, busung lapar, polio, dan korupsi.

Ketiga, jeratan neoliberalisme. Pemerintah telah sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip pasar dalam menjalankan negara. Apakah negara sama dan sepenuhnya cocok dengan pasar ?...Pasar memang memberikan hal baik bagi manusia, yaitu kompetisi. Dengan meminjam pemikiran Immanuel Kant, kompetisi membuat manusia bisa membuang bahaya laten yang tersimpan dalam diri manusia, yaitu kemalasan. Namun, pasar yang kompetitif menyimpan hal buruk bagi manusia, yaitu selalu melahirkan pihak yang kalah.

Pasar bisa mengenyahkan pihak yang kalah itu. Pasar bisa mengusir gelandangan. Pasar bisa dengan seenaknya menggusur pedagang kaki lima. Tetapi, apakah negara bisa mengusir gelandangan untuk keluar dari wilayah negara ini? Apakah negara bisa menggusur pedagang kaki lima tanpa memberi solusi?

Konstitusi mengatakan ”fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara”. Berdasarkan konstitusi ini, dapat diartikan negara berbeda dengan pasar. Pasar tidak peduli dengan keseluruhan, sedangkan negara harus berguna bagi seluruh rakyat.

Pemerintah harus mengarahkan negara untuk keluar dari berbagai jeratan dan bergerak menuju era kebebasan.


Eliminasi kepentingan diri

Salah satu alasan responden adalah pemimpin tidak satu arah. Ini dapat dibaca sebagai masalah amat serius karena berkait dengan keutuhan visi anggota kabinet. Jika pada awal pemerintahan Yudhoyono-Kalla menghadapi tantangan dari kaum ”oposisi”, yaitu koalisi kebangsaan, kini mereka menghadapi masalah lebih serius, yakni penyakit dalam tubuh sendiri. Tidak satu arahnya pemerintahan dapat dibaca sebagai terlalu dominannya kepentingan diri, egoisme, sehingga menutup rapat perjuangan mencapai kepentingan bersama, yaitu kepentingan rakyat. Akhirnya, masing-masing elite mengejar kepentingan diri.

Seorang pemimpin bangsa seharusnya telah mampu mengeliminasi egoisme, tidak mementingkan diri sendiri, dan mampu mengarahkan dirinya untuk selalu memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan begitu, arah yang dituju akan menjadi jelas dan satu. Dengan demikian, pencarian arah akan berhasil. Biduk republik dapat berjalan dengan arah yang pasti menuju kebebasan dan kecemerlangan.

KILAS BALIK SINGKAT SANG PUTRA TERBAIK TIDORE


Mereka yang Berani Menantang Risiko

Salam Indonesia !

Teman-teman terkasih, sungguh kami merasakan kehilangan yang amat sangat mendengar berita kepergian Munir, seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia yang akan selalu kita kenal sebagai satu dari sedikit orang-orang cerdas dan berani di Indonesia saat ini. Kepergiannya terasa sebagai shock yang sulit kami terima. Betapa ia dalam usia yang begitu muda kini tidak lagi berada di tengah-tengah kita. Harapan besar yang telah terlanjur kami tanamkan pada pundak orang-orang muda seperti Munir, kini seperti terhempas.
Di saat bangsa ini masih berada dalam suasana yang carut-marut, ketika para pemimpin negara ini belum dapat kita harapkan untuk membangkitkan Indonesia yang sedang terpuruk, ketika itu pula kita kehilangan tokoh independen yang keberaniannya dapat memberikan inspirasi bagi berjuta rakyat kita untuk berdiri dan memerdekakan jiwanya. Karena adanya orang-orang seperti Munir, kami merasa bahwa jiwa bangsa Indonesia masih akan merdeka... Teman-teman semua, keberadaan orang-orang baik itu bagaikan udara. Sering kita tak memperhatikan dan melihatnya kita ia ada bersama-sama kita, namun kita akan merasa kehilangan teramat besar di saat ia tiba-tiba hilang dari antara kita.
Satu per satu, orang-orang muda penuh harapan telah pergi meninggalkan kita. Sebelum Munir, kita telah kehilangan Arnold Purba (Aktivis anti-diskrimansi dari Solidaritas Nusa Bangsa) serta Nuku Soleman Putra terbaik Nusantara yang berasal dari Kota Tidore Maluku Utara (Aktivis PIJAR Indonesia, yang pernah mendekam dalam penjara semasa pemerintahan Orde Baru) yang kesemuanya meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya -- akibat tekanan berat yang dialami karena pekerjaannya.

Orde Baru yang di awal kekuasaannya memunculkan harapan secara perlahan bermetamorfosa menjadi Leviathan, Sang Naga laut, yang menakutkan. Kekuasaannya semakin mencengkeram berbagai aspek kehidupan bernegara, termasuk kehidupan kampus. Gerakan mahasiswa yang di awal terbentuknya Orde Baru merupakan sekutu dalam proses transisi kekuasaan berangsur-angsur “dijinakkan” dan pada akhirnya dibungkam.

Buku yang berjudul “Mereka yang Berani Menentang Risiko: Motif Keterlibatan Mahasiswa ke Dalam PIJAR Indonesia” ini mengungkapkan secara gamblang anatomi gerakan PIJAR Indonesia dengan terlebih dulu diuraikan sejarah gerakan mahasiswa yang di antaranya bermuara pada pendirian organisasi anti-Soeharto. Seta Basri, penulis buku, berusaha memperlihatkan peran yang besar dari PIJAR dalam panggung politik republik era Orde Baru.

Metamorfosa Gerakan Mahasiswa

Puncak pembungkaman gerakan mahasiswa adalah dengan diterbitkanya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), yang diawali dengan pembekuan Dewan-Dewan Mahasiswa seluruh Indonesia oleh Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo. NKK, seperti ditulis Seta, secara parsial dapat dikatakan sebagai reaksi pemerintah atas gerakan mahasiswa 1978 yang mulai mempersoalkan eksistensi Soeharto. Dengan terbitnya NKK yang lalu diikuti dengan pembentukan Badan Koordinasi Kampus (BKK), menurut Seta, posisi diametral mahasiswa terhadap personalitas Presiden Soeharto dan angkatan bersenjata pun dimulai.

Aktivisme mahasiswa pasca NKK kemudian berkembang menjadi tiga bentuk, kelompok studi, kelompok aksi, dan Pers Mahasiswa. Kelompok pertama tidak terlihat sebagai kelompok perlawanan terhadap penguasa. Kelompok ini mengambil jalan moderat. Sedangkan kelompok kedua dan ketiga bercorak sebagai kelompok perlawanan. Menurut Seta, secara umum watak perlawanan aktivis pers kampus hampir sama dengan yang terdapat di kelompok aksi. Perbedaan antara keduanya adalah, aktivis pers mahasiswa mengedepankan aksi informasi, sementara aktivis komite aksi mengedepankan pola aksi jalanan.

Penyaluran aktivitas politik mahasiswa pasca-NKK, menurut Seta, tidak hanya dalam bentuk trikotomi di atas. Masih terdapat satu bentuk lagi, yaitu LSM. Namun LSM ini tidak hanya dianggotai mahasiswa melainkan juga kalangan profesional.

LSM pada akhirnya menjadi salah satu manifestasi kekuatan politik di tingkat masyarakat sipil awal 1990-an. LSM-LSM pada era ini banyak dipengaruhi bergabungnya bekas aktivis mahasiswa yang menjadi anggota inti organisasi. Beberapa LSM ini awalnya berbentuk yayasan.

Salah satu yang berdiri ketika itu adalah Yayasan PIJAR dengan Depot Kreasi Jurnalistik Jakarta Forum sebagai embrio. Pendirinya adalah beberapa aktivis mahasiswa era akhir 1980-an. Karena itu, menurut Seta, Yayasan PIJAR dapat dikatakan sebagai metamorfosa dari format gerakan mahasiswa, suatu fenomena yang oleh Anders Uhlin disebut sebagai “LSM Generasi Baru”. PIJAR inilah yang kemudian menjadi fokus penelitian Seta Basri.

Pasca penangkapan tokohnya, yaitu Nuku Soleman, pada 1993 PIJAR menjadi PIJAR Indonesia yang diartikan secara akronim sebagai Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi Indonesia. PIJAR Indonesia, menurut Seta, berupaya mengadakan perubahan relasi kekuasaan di dalam sistem politik Orde Baru. Lembaga ini berposisi sebagai distributor komoditas politik dari tingkat masyarakat sipil menuju negara. Di sinilah pergerakan organisasi ini berimplikasi politik.

Anti Soeharto

Dalam bukunya, Seta menyatakan bahwa isu yang dikumandangkan PIJAR Indonesia dalam upaya mempromosikan perubahan politik adalah sama dengan yang dibawakan oleh elemen-elemen gerakan sosial di era 1990-1996 lainnya yaitu HAM dan demokratisasi. Yang khas dari PIJAR adalah metode gerakan lapangan dan pernyataan aksiologi politik yang “Anti Soeharto”. Kekhasan ini terlihat dari pernyataan Amir Husin Daulay, “Jadi, kalau mau ditekankan sebetulnya PIJAR didirikan dengan maksud menjadi semacam embrio atau organisasi perlawanan yang bersifat spontan. Misalnya benar-benar anti-Soeharto, anti rezim. Targetnya menurunkan Soeharto, dengan segala selubung-selubungnya…”.

Seta kemudian menguraikan bagaimana lugas dan terang-terangannya gerakan perlawanan anti-Soeharto dan anti-rezim dilakukan oleh para aktivis PIJAR. Sikap ini membuahkan berbagai penangkapan aktivis PIJAR oleh pemerintah. Maka tak heran jika penggantian Ketua Harian PIJAR begitu sering terjadi. Antara Tahun 1989 sampai Tahun 2003 terjadi pergantian ketua sebanyak 13 kali. Mereka adalah Bonar Tigor Naipospos, Amir Husin Daulay, Tri Agus Siswanto Siswowihardjo, Nuku Soleman, Rachland Nashidik, Eko S. Danandjaja, Anto Kusumayuda, Fery Haryono Machus, B.Y Widyankristyoko, Hakim Hatta, Sulaiman Haikal, dan Ario Adityo.

PIJAR, menurut Seta, spesialis dalam hal pengeksposan isu. Dengan demikian, lanjut Seta, PIJAR mirip seperti kelompok penekan bertipe Promotional Groups. Tipe ini bersifat altruis. Kegiatam semata-mata berada dalam lingkup public interest.

Selain perlawanan anti-Soeharto dan anti-rezim, perjuangan HAM, dan promosi demokratisasi, PIJAR juga menurut Seta pernah mengembangkan wacana Islam transformatif, yaitu ketika masih berbentuk yayasan. Area ini disentuh melalui kegiatan yang dinamakan Pusat Pengembangan Literatur Islam (PPLI) tahun 1990.

Seta selanjutnya menguraikan berbagai aspek baik di internal atau pun eksternal PIJAR. Di sisi internal, Seta antara lain menguraikan dimensi keorganisasian dan kaderisasi PIJAR, termasuk dinamika konflik yang terjadi di dalamnya. Sedangkan di sisi eksternal, Seta menguraikan terjadinya persaingan antarkelompok muda dan suhu politik yang makin dinamis. Kondisi ini, menurut Seta, mendorong PIJAR melakukan pemikiran ulang atas sistem kaderisasinya.

Di sisi eksternal ini juga Seta menguraikan mengenai jaringan aksi PIJAR. Seta membaginya ke dalam dua fokus pembicaraan, yaitu jaringan luar negeri dan dalam negeri. Dari uraian Seta tergambar peran PIJAR dalam berbagai jaringan yang berupaya menyikapi berbagai persoalan baik di dalam atau di luar negeri.

Pada bagian akhir buku ini diuraikan motif keterlibatan mahasiswa ke dalam PIJAR Indonesia. Seta membaginya ke dalam dua bagian yaitu faktor-faktor pemicu minat atas politik, dan motif keterlibatan mahasiswa ke dalam PIJAR sendiri.

Kelebihan buku ini adalah uraian yang lengkap, padat, namun mudah dicerna. Penulis buku berhasil menjelaskan anatomi PIJAR secara jelas, baik pada sisi pergerakan ataupun pada sisi internal struktur keorganisasian. Penulis juga mampu memperlihatkan secara jernih keterkaitan antara PIJAR dengan gerakan mahasiswa dan motif keterlibatan mereka dalam PIJAR Indonesia.

Setelah membaca buku ini kita akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang pergerakan mahasiswa dalam kaitannya dengan perlawanan terhadap penguasa otoriter dan gambaran mengenai PIJAR sendiri. Dengan demikian, terlalu sayang jika buku ini dilewatkan.


STRUKTUR PEMERINTAHAN KESULTANAN TIDORE


STRUKTUR PEMERINTAHAN KESULTANAN TIDORE



Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku tersebut, sistem pemerintahan di Tidore telah ditata dengan baik. Saat itu, Sultan (Kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syaraa, adat se Nakudi. Dewan ini dipimpin oleh Sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (Perdana Menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato Pehak Raha (Bobato empat pihak) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir.Sistem dan Struktur Pemerintahan yang dijalankan di Kerajaan Tidore pada masa lampau cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan Sultan. Menariknya, di keempat Kerajaan di Jazirah Maluku Utara yang dikenal dengan “MOLOKU KIE RAHA” yaitu; kerajaan Jailolo, kerajaan Bacan, kerajaan Ternate dan termasuk di kerajaan Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi seseorang untuk menjadi Sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari pihak Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi Sultan Tidore.Selanjutnya mengenai Struktur Pemerintahan Kerajaan Tidore sejak Sultan Tidore yang pertama yaitu Sultan Syah Jati alias Mohammad Nakel yang kemudian mengalami perubahan-perubahan mengenai bentuknya pemerintahan di jaman Sultan Cirlaliati,–beberapa sumber menyebutkan Sultan ini yang pertama kali mulai masuk Islam–, dan di jaman Sultan Syafi ud-din dengan gelarannya Khalifat ul-mukarram Sayid-din Kaulaini ila Jaabatil Tidore, dapat diuraikan sebagai berikut : KOLANO SEI BOBATO PEHAK RAHA, artinya : Sultan dan 4 Kementeriannya dengan pegawai, yang terdiri dari :


1. Pehak Bobato, Urusan Pemerintahan dikepalai oleh Jogugu. Anggota2nya :


a. Hukum2

b. Sangadji2

c. Gimalaha2

d. Fomanyira2


2. Pehak Kompania, Urusan Pertahanan dikepalai oleh Kapita2/Mayor :


a. Leitenan2

b. Alfiris2

c. Jodati2

d. Serjanti2

e. Kapita Kie

f. Jou Mayor, dan

g. Kapita Ngofa


3. Pehak Jurutulis, Urusan Tata-Usaha dikepalai oleh Tullamo (Sekneg). Anggota2nya :


a. Jurutulis Loaloa

b. Beberapa Menteri Dalam, yaitu:

1. Sadaha, (Kepala Rumah Tangga Kerajaan)

2. Sowohi Kiye, (Protokoler Kerajaan Bidang Kerohanian),

3. Sowohi Cina, (Protokoler Khusus Urusan Orang Cina),

4. Sahabandar, (Urusan Administrasi Pelayaran).

5. Fomanyira Ngare, (Public Relation Kerajaan)


4. Pehak Lebee, urusan Agama/Syari’ah dikepalai oleh seorang Kadhi. Anggota2nya :

a. Imam2.

b. Khotib2.

c. Modin2.


Selain struktur tersebut di atas masih terdapat Jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti Gonone yang membidangi intelijen dan Surang Oli yang membidangi urusan propaganda.


PEJABAT DALAM KEDUDUKAN MENURUT TINGKAT JABATAN


I. Bobato Yade Soa2 dan Sangadji se Gimalaha di pusat, terdiri dari :

1. Jogugu / Jojau

2. Kapita Laut, (Panglima Perang)

3. Hukum Yade, (Urusan Luar Kerajaan)

4. Hukum Soa2, (Uurusan Dalam Kerajaan)

5. Bobato Ngofa, (Urusan Kabinet)

6. Gimalaha Marsaoly

7. Gimalaha Folaraha

8. Sangadji Moti

9. Gimalaha Sibu

10. Gimalaha Matagena

11. Gimalaha Sibuamabelo (Sambelo)

12. Gimalaha Togubu

13. Gimalaha Kalaodi

14. Gimalaha Soa Konora

15. Gimalaha Simobe

16. Gimalaha Doyado

17. Gimalaha Samafu

18. Gimalaha Maliga

19. Fomanyira Failuku

20. Fomanyira Tomacala

21. Fomanyira Yaba

22. Fomanyira Sosale

23. Fomanyira Jawa

24. Fomanyira Cobo

25. Fomanyira Dikitobo

26. Fomanyira Tasuma

27. Fomanyira Tomadou

28. Fomanyira Rum

29. Sngagaji Laisa Mareku

30. Sangadji Laho Mareku

31. Gimalaha Tomalouw

32. Gimalaha Tongowai

33. Gimalaha Mare

34. Gimalaha Tuguiha

35. Gimalaha Tomaidi

36. Gimalaha Tahisa

37. Gimalaha Tomanyili

38. Gimalaha Gamtohe

39. Gimalaha Dokiri

40. Gimalaha Banawa


IIa. Bobato Nyili Gamtumdi, terdiri dari :

1. Gimalaha Seli2

. Fomanyira Tambula

3. Fomanyiira Taran

4. Fomanyira Tomawange

5. Tomanyira Tofoju

6. Fomanyira Gurabati


IIb. Bobato Nyili Gamtufkange, terdiri dari :

1. Gimalaha Tomoyau

2. Fomanyira Tambula

3. Fomanyira Ngosi

4. Fomanyira Tobaru

5. Fomanyira Tunguwai

6. Fomanyira Goto

7. Fomanyira Sautu

8. Fomanyira Tomagoba


IIc. Nyili Lofo2, terdiri dari :

1. Sangadji Maba

2. Sangadji Soa Gimalaha

3. Sangadji Bicoli

4. Himalaha Wayamli

5. Sangadji Patani

6. Gimalaha Kipay

7. Sangadji Kacepi

8. Gimalaha Sanafi

9 Sangadji Weda

10 Gimalaha Soa Cina

11. Sangadji Somola

12. Gimalaha Somola, (1 s/d 12 disebutkan Gamrange,–Tiga Negeri–)

13. Gimalaha Akelamo

14. Gimalaha Payahe

15. Gimalaha Wama

16. Gimalaha Akemayora

17. Gimalaha Tafaga

18. Fomanyira Tauno

19. Fomanyira Loko

20 Fomanyira Taba

21. Kalaodi Maidi, (13 s/d 21 distrik Oba)


IId. Bobato Nyili Gulu2 (Papua), terdi i dari :

1. Kolano Waigeo

2. Kolano Salawati

3. Kolano Misowol, (Lilintinta).

4. Kolano Waigama, (Miyan). (1 s/d 4=Raja Ampat).

5. Sangadji Umka

6. Gimalaha Usboa

7. Sangadji Barey

8. Sangadji Beser

9. Gimalaha Kafdarun

10. Sangadji Wakeri

11. Gimalaha Warijo

12. Sangadji Mar

13. Gimalaha Warasay, (5 s/d 13 -Papua Gam Sio – (9 Soa).

14. Sangadji Rumbarpon

15. Sangadji Rummansar

16. Sangadji Anggaradifu

17. Sangadji Waropon, (14 s/d=Mavor Soa-Raha (4 Soa).


Catatan Akhir dari Admin ;
1. Terlepas dari itu semua, sejarah telah mencatat bahwa beberapa daerah diluar pulau Tidore, mulai dari Papua barat hingga pulau-pulau di selatan Pasifik pernah menjadi wilayah kerajaan ini. Presiden RI pertama Sukarno semula ingin memasukan seluruh wilayah kekuasaan kerajaan tidore ini menjadi bagian dari NKRI, namun pada akhirnya, diputuskan bahwa hanya bekas jajahan kerajan Belanda saja yang menjadi wilayah RI, sehingga Malaysia, Singapura dan Timor Leste tidak dimasukan sebagai wilayah NKRI, termasuk beberapa gugusan kepulauan di selatan pasifik yang dulunya adalah wilayah kerajaan Tidore. Sukarno pernah berkata; “……..Tanpa Tidore, tak akan ada lagu; Dari Sabang sampai Merauke……..”


2. Terakhir……, kajian historis ini, bila dipahami, diharapkan akan menjadi motivasi bagi para para pemimpin lokal di daerah ini untuk menata masa depan Tidore dan sekitarnya yang lebih baik. Kalau ditanya mengapa saya berargumen demikian? Maka jawaban saya adalah ; Karena para pemimpin masa lampau di daerah ini yang yang berpola pikir ratusan tahun yang lalu saja mampu dan bisa menjalankan birokrasi yang baik menata pemerintahan daerah, kenapa jaman kita saat ini tidak mampu? Pilkada saja berantam melulu, barangkali yang ada di pikiran mereka hanya kekuasaan dan kekayaan tanpa mikirkan hak dan kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

EKSPANSI SULTAN TIDORE

EKSPANSI SULTAN TIDORE
SAEDUL JIHAD MUHAMMAD AL MABUS AMIR UD-DIN SYAH KAICIL PAPARANGAN (JOU BARAKATI ATAU SULTAN NUKU )
KE KAWASAN KEPULAUAN PASIFIK SELATAN


Tidore mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou Barakati. Pada masa kekuasaannya 1797 - 1805), wilayah Kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Kepulauan Pasifik bagian selatan. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram Timur. Di Kepulauan Pasifik bagian selatan, kekuasaan Tidore, mencakup :


1. Mikronesia

2. Melanesia

3. Kepulauan Kapita Gamrange

4. Kepulauan Solomon

5. Kepulauan Marianas

6. Kepulauan Marshal

7. Ngulu,

8. Fiji, dan

9. Vanuatu


Beberapa pulau dan daerah di Pasifik selatan yang hingga hari ini masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, adalah :


a. Kepulauan Nuku Lae-lae

b. Nuku Maboro

c. Nuku Wange

d. Nuku Nau

e Nuku Oro

f. Nuku Fetau

g. Nuku Nono

h. Nuku Haifa, dan

i. Nuku Alovaj.


Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti.
Di masa Sultan Nuku yang hanya berkuasa sekitar delapan tahun inilah, Kerajaan Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang wilayahnya paling luas dan disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik di luar wilayah Nusantara. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau di pasifik selatan yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah :


1. Nuku Hifa,

2. Nuku Oro,

3. Nuku Maboro,

4. Nuku Nau,

5. Nuku Lae-lae,

6. Nuku Fetau dan

7. Nuku Nono. seperti yang diuraikan di atas.

DI USULKAN TIDORE JADI DAERAH ISTIMEWA


SUARA PEMBARUAN DAILY

Diusulkan, Tidore Jadi Daerah Istimewa [JAKARTA]



Keberadaan Tidore Kepulauan sebagai wilayah karesidenan dan memiliki andil besar dalam sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadikan wilayah itu layak diubah statusnya menjadi daerah istimewa. Dan mungkin juga bukan hanya Kota Tidore saja tapi juga beberapa Kesultanan Lain di Indonesia Timur seperti Kesultanan Gowa dan Buton yang merupakan representasi Daerah Istimewa di bagian Timur Indonesia sebagaimana di Bagian Barat ada Jokjakarta, Batavia dan Aceh.


"Kami meminta kepada Pemerintah RI agar Tidore yang telah berubah status dari Ibu kota Pemerintahan Halmahera Tengah, sekarang menjadi daerah otonom KotaTidore Kepulauan, betul-betul diperhatikan dan didukung sepenuhnya, baik dari aspek pemerintahan, pengembangan ekonomi, pendidikan, demi kesejahteraan Rakyat Tidore. Tidak seperti induk ayam yang menetas kemudian meninggalkan anak-anak nya," tutur Ketua Tidore Development Foundation, M. Syamsul Syamaun yang juga Komisi Politik DPP KNPI dibawah kepemimpinan Ahmad Doli Kurnia kepada SP di Jakarta, pekan lalu.


Syamsul menjelaskan, Tidore adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari Nusantara dan sejarah perjuangan bangsa sebagaimana Yogyakarta, Nanggroe Aceh Darussalam,dan kesultanan-kesultanan lain yang selama ini mendapat perhatian khusus oleh pemerintah Pemerintah Pusat.


"Karena itu, kami dan segenap Rakyat Tidore akan menyerukan dan berjuang setiap saat agar Kota Tidore sebagai bekas ibu kota Pemerintahan Irian Barat masuk ke pangkuan Nusantara," segera dirubah statusnya sebagai Daerah Istimewa karena secara Geografis, Historis, Potensi, Infra Struktur sudah layak, ujar Syamsul.


Dijelaskan, dalam sejarah Nusantara rakyat dan pimpinan Tidore memiliki banyak catatan harum, diantaranya. Pada 1793 Inggris ingin menjadikan Papua sebagai koloni baru. Atasperintah gubernur Inggris di Tidore, Inggris mulai mengadakan penjajakan dan membagi garis pulau sekitar Papua serta mendirikan benteng Coronation di TelukDoreri. Karena tentangan keras dari Sri Sultan Tidore Kamaludin Syah saat itu yang berkuasa 1814, akhirnya Inggris meninggalkan Papua.


Disegani

Perjuangan rakyat dan pemimpin Tidore berlanjut, khususnya pada masa kesultananTidore dan Ternate. Ketika itu kesultanan tersebut disegani dan berpengaruh diNusantara bahkan sampai Filipina, Madagaskar, dan Afrika Selatan. "Hubungan ituberlanjut pada masa Trikora, Tidore menjadi ibu kota provinsi perjuangan IrianBarat waktu itu," tutur Syamsul.


Perjuangan mengembalikan Irian Barat ke Nusantara melalui UU 15 tahun 1956 juga atas andil besar rakyat Tidore. Bahkan oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno ditetapkan ibu kota Soasio-Tidore danGubernur Irian Barat pada saat itu adalah Sultan Tidore Yang Mulia Sri SultanZainal Abidin Sjah.


Sementara itu, Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan yang juga tokoh masyarakatTidore, Salahuddin Adrias mengatakan, usulan Tidore menjadi daerah istimewawajar saja karena soal Tidore inika salah satu kesultanan Islam Tertua di Nusantara dan punya peran besar dalam perjuangan melawan Kolonial dll. Yang jelas Tidore punya catatan harum di mata dunia dan salah satu kesultanan yang sangat di segani pada jaman perjuangan sebelumnya.


"Jika ada kalangan masyarakat atau kaum muda Tidore yang mengusulkan Tidore menjadi daerah istimewa, itu buktinya bukti bahwa masih ada pelanjut para pahlawan seperti Sultan Nuku, Zainal Abidin Sjah yang cinta dengan Tidore. Memang benar Tidore mencatat sejarah bagi Nusantara ini. Dan itu jangan dilupakan," ujarnya. [Y-4]