Hak Uji Materiil (Menurut Amandemen UUD 45 Dan Perbandingan MA Di Amerika Serikat)

I. PENDAHULUAN

Di dalam kepustakaan maupun dalam praktek, dikenal ada 2 (dua) macam hak menguji (toetsingsrecht atau review), yaitu:
a. hak menguji formil (formele toetsingsrecht),
b. hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht).

Yang dimaksud dengan hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Misalnya, undang-undang adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Amandemen UUD 1945). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (Pasal 5 jo. 20 ayat (2) Amandemen UUD 1945). Jadi, produk hukum yang disebut undang-undang tersebut, harus dibentuk pula dengan, atau berdasarkan tata cara (prosedur) seperti telah tersebut di atas.
Demikian pula Peraturan Daerah dibentuk (ditetapkan) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota (Pasal 18 ayat (1) d UU No. 22 Tahun 1999). Suatu produk hukum tidak dapat disebut Peraturan Daerah (Perda) apabila hanya ditetapkan oleh Gubernur saja, tanpa disetujui oleh DPRD. Tegasnya bahwa hak uji formil berkaitan dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk serta tata cara (prosedur) pembentukkannya.

Yang dimaksud dengan hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil berkenaaan dengan isi dari suatu perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Dalam literatur, terdapat 3 (tiga) kategori pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu 3:
1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review)
2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review), dan
3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).

Jadi pengujian materiil tidak semata-mata berupa pengujian oleh badan peradilan. Pada dasarnya fungsi hak menguji materiil adalah berupa fungsi pengawasan, yaitu agar materi (isi) peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lebih-lebih dan paling utama agar peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak bertentangan dengan UUD sebagai "the supreme law."
Dalam hal ini, agar UUD dapat dilindungi atau terproteksi, maka keberadaan hak menguji materiil sebagai bagian dari "the guarentees of the constitution." UUD sebagai hukum tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Secara a contario peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak boleh menyimpangi, bertentangan atau tidak konsisten dengan UUD. Keberadaan hak menguji materiil pada hakekatnya berupa alat kontrol atau pengendali terhadap kewenangan suatu peraturan perundang-undangan, jika ada pendapat menyatakan hak menguji materiil berkaitan dengan konsep trias politika adalah suatu kekeliruan. Dalam konsep trias politika, khususnya konsep "seperation of power," fungsi satu badan tidak dibenarkan melakukan "intervensi" tehadap badan lain. Keberadaan hak menguji materiil adalah koreksi terhadap konsepsi "seperation of power," keberadaannya lebih relevan dengan konsepsi "chek and balances," yaitu agar suatu badan tidak melewati kewenangannya.

II. HAK MENGUJI MATERIIL DI INDONESIA

Pengaturan hak menguji materiil di Indonesia baru dimulai dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman (yang beberapa ketentuannya telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), sebagaimana ditetapkan Pasal 26, yang kesimpulannya :
1. Hanya Mahkamah Agung yang diberi kewenangan untuk menguji materiil, badan-badan kekuasaan kehakiman lainnya tidak diberi wewenang untuk itu.
2. Putusan Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan hak menguji materiil tersebut berupa pernyataan tidak sah peraturan perundang-undangan yang diuji tersebut dan dengan alasan bahwa isi dari peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
3. Yang dapat diuji hanya bentuk hukum berupa peraturan perundang-undangan dan jenis yang dapat diuji adalah peraturan perundang-undangan yang derajatnya di bawah UU atau Peraturan Pemerintah ke bawah.
4. Hak menguji materiil dapat dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
5. Peraturan yang telah dinyatakan tidak sah tersebut dicabut oleh instansi yang bersangkutan atau yang menetapkan.

Kemudian, apabila diteliti dengan seksama Penjelasan Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 199 tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa undang-undang pun dapat diuji secara materiil terhadap ketentuan UUD.
2. Pemberian kewenangan hak menguji materiil terhadap undang-undang hanya dapat diberikan oleh pembentuk UUD (MPR) oleh karenanya harus diatur dalam UUD atau Ketetapan MPR.
3. Hak menguji peraturan pelaksanaan undang-undang terhadap UUD sebagai fungsi pokok tidak diberikan kepada Mahkamah Agung. Dengan perkataan lain, menurut pembentuk UU No. 14 tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999) hanya dapat diuji terhadap undang-undang atau Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak terhadap UUD. Jadi, UUD tidak dapat dipakai sebagai "batu uji".

Kemudian dengan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004 (yang menggantikan UUD No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999), mengenai kewenangan hak menguji materiil diatur dalam Pasal 11 ayat (2) b yang menyebutkan bahwa : "Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang."

Pasal 12 ayat (1) a UU No. 4 Tahun 2004 tersebut, diatur mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk menguji undang-undang terhadap UUD RI Tahun 1945.

Hak menguji materiil pada Mahkamah Agung juga diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkmah Agung, dalam Pasal 31, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak menguji materiil terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1993, sebagaimana dinyatakan dalam konsiderans "menimbang" yaitu dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan peradilan mengenai hak menguji materiil, agar penyelenggaraan peradilan mengenai hal itu dapat berjalan lancar.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Mahkmah Agung yang baru yaitu UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, hak menguji materiil pada Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 31, sebagai berikut :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara RI dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga) puluh hari kerja sejak putusan diucapkan.
Kini, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah membentuk lembaga baru dalam Amandemen UUD 1945 (Pasal 24 ayat (2) yis 24C dan 7B), yaitu Mahkamah Konstitusi. Pengaturan Mahkamah Konstitusi ternyata mengacaukan skema pengujian undang-undang (constitutional review).

Pasal 24 ayat (2) Amandemen UUD 1945 menempatkan Mahkamah Konstitusi paralel dengan Mahkamah Agung yaitu dalam hal badan peradilan yang melakukan salah satu pelaku, salah satu lembaga negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman (seperti juga diatur dalam pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 1 jo. Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi). Tetapi dalam hal lainnya Mahkamah Konstitusi "mengatasi" Mahkamah Agung, bukan sejajar atau di bawahnya, karena Mahkamah Konstitusi berhak memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (Pasal 24C ayat (1) Amandemen UUD 1945 jo. Pasal 12 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004); sehingga membuka peluang bagi suatu lembaga negara guna menggugat putusan Mahkamah Agung dalam perkara judicial review.

Kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi mencakup 4 kategori : constitutional review, sengketa antarlembaga negara; impeachment process, serta perkara politik berupa sengketa hasil pemilu dan pembubaran partai {Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003}; dimana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh {Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003}.

Dengan demikian kedudukan lembaga Mahkamah Konstitusi ini ternyata mengakibatkan kerancuan, sebab menurut Pasal 24 Amandemen UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berada sama dan sejajar dengan Mahkamah Agung. Namun, anehnya justru Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan lebih tinggi dari Mahkamah Agung, yakni judicial review atas UU; sedang wewenang Mahkamah Agung dalam judicial review hanya terhadap peraturan perundangan di bawah UU.

III. MAHKAMAH AGUNG DI AMERIKA SERIKAT

Peran Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan melakukan uji materiil terhadap UU, jelas mengadopsi dari praktek bernegara di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memiliki kedudukan tertinggi di bidang judicial atau supreme of court dapat melakukan uji materiil terhadap UU.
Akan tetapi, hak uji materiil yang ada pada Mahkamah Agung di Amerika Serikat tersebut tidak diatur dalam konstitusi, seperti yang termuat dalam article vi section 2 Konstitusi Amerika Serikat, yaitu5 :
"Konstitusi ini dan semua UU di Amerika Serikat harus dibuat untuk maksud dan tujuan yang telah ditentukan, dan semua perjanjian yang dibuat di bawah wewenang Amerika Serikat akan menjadi hukum yang tertinggi, dan para hakim di tiap-tiap negara bagian akan terikat dalam batas peraturan perundang-undangan negara bagian yang bersangkutan meskipun bertentangan."
Mahkamah Agung Amerika Serikat menempatkan diri dalam kedudukan sebagai badan yang melaksanakan judicial review pada tahun 1803, yaitu dalam kasus William Marbury vs. Madison. Untuk pertama kalinya Mahkamah Agung (John Marshall sebagai Ketua Mahkamah Agung waktu itu) menyatakan bahwa Undang-undang Federal sebagai unconstitutional. Maka dengan adanya putusan tersebut, John Marshall telah menempatkan doktrin judicial review ke dalam sistem hukum formal Amerika Serikat. Sejak saat itu pula telah banyak Undang-undang Negara Bagian dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh Mahkamah Agung.6

Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah satu-satunya Pengadilan Federal yang dibentuk oleh UUD. Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak dapat dihapuskan, selain dengan mengubah UUD. Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah Pengadilan Tertinggi di seluruh Negara Amerika Serikat. Keputusannya tidak dapat diubah lagi.
Tidak ada pengadilan lain untuk menerima banding (appeal) keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sungguh-pun bukan Congress (=MPR) yang membentuk Mahkamah Agung Amertika Serikat, Congress berhak menetapkan UU tentang susunan dan tata bekerjanya Mahkamah Agung Amerika Serikat. Congress sewaktu-waktu menetapkan beberapa orang hakim menjadi anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan beberapa penghasilan masing-masing.
Para hakim dalam Mahkamah Agung Amerika Serikat membawa berbagai pengalaman dan pandangan ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. Mereka tidak hanya ditarik dari kalangan pengacara dan kalangan hakim/jaksa tetapi dalam beberapa peristiwa terkenal, juga dari kedudukan dalam pemerintahan. Besarnya Mahkamah Agung Amerika Serikat telah memungkinkan semua anggota untuk berpartisipasi dalam semua tindakannya.7
Orang-orang yang dipilih Presiden untuk diangkat menjadi Hakim Agung menghendaki pengesahan Senate (=DPR). Dengan beberapa pembatasan, Congress dapat menetapkan perkara-perkara yang akan diperiksa oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Akan tetapi Congress tidak dapat mengubah kekuasaan yang diberikan kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat menurut UUD.
Suatu hal yang sangat khas dari Mahkamah Agung Amerika Serikat adalah, bahwa setiap pendapatnya merupakan penjelasan terperinci dan bukan perintah (fiat). Banyak kesempatan diberikan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan pribadi, baik yang sepaham (dalam concurring opinions) maupun dari pandangan-pandangan yang tidak setuju merupakan suatu tantangan bagi kematangan politik masyarakat.

Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tersebut mengandung penghargaan, atas nilai dari dialog-dialog yang telah diadakan dalam rangka mencari apa yang benar dan apa yang adil. Disamping itu, Mahkamah Agung Amerika Serikat selalu membuka diri untuk mempertimbangkan doktrin-doktrin kembali, dengan mendasarkan pada pelajaran dari pengalaman dan daya berpikir yang lebih baik.
Aspek paling berarti dari pekerjaan Mahkamah Agung Amerika Serikat, terletak justru dalam cara dan proses pemutusan ini. Dengan menghindari kemutlakan, menguji semboyan-semboyan umum terhadap kenyataan-kenyataan konkrit, memutus hanya dalam konteks kontroversi-kontroversi yang khas, menemukan akomodasi antara prinsip-prinsip yang berlawanan, membuka diri untuk mempertimbangkan ulang dogma-dogma; maka Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam keadaannya yang paling baik, memberikan suatu lambang kerukunan. Mungkin juga, gabungan aktif di antara idealisme dengan pragmatisme yang pada akhirnya merupakan sifat yang paling patut dihargai dari proses peradilan sebagaimana diselenggarakan di Mahkamah Agung Amerika Serikat.